6 - Marah?

5.4K 285 17
                                    

"Maaf, Sa," mohon Raya. Sejak setengah jam yang lalu Raya masih belum pergi juga dari depan pintu kamar Angkasa.

Gadis itu terus saja memohon maaf pada Angkasa, lelaki itu mengunci pintu kamarnya dan tidak mengatakan sepatah katapun sejak dia datang entah dari mana. Tentu saja Raya merasa bersalah karena ia dengan tanpa ijin membuka buku Angkasa yang ternyata itu adalah buku yang Angkasa rahasiakan.

Mata tajam Angkasa masih membayangi Raya, jam yang sudah menunjukkan angka satu itupun tak membuat Raya tergerak untuk kembali ke kamarnya.

"Maaf, Sa, gue nggak tau. Please, Sa, bukain pintunya." Suara serak Raya kembali terdengar.

Sedangkan di dalam, Angkasa pun masih belum tidur, dia mendesah perlahan, ia harusnya tidak membentak gadis itu tadi. Amarahnya memang tak tertahankan, bodoh.

Ia memijit pangkat hidungnya, berharap sedikit mengurangi rasa pusing di kepalanya sekarang. Bermain bola basket tadi tak membantunya.

Ya, tadi Angkasa berniat untuk melepas emosinya dengan basket. Tapi saat sampai di rumah tak membantunya sama sekali. Ia malah semakin kesal. Mood-nya sangat buruk! Entahlah besok dia bisa mengatasinya atau tidak.

Angkasa kemudian mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas dekat tempat tidurnya. Mencari kontak Raya dan mengetikkan beberapa kata di kolom chat itu. Setelah selesai dan memastikan bahwa pesan tersebut telah terkirim, Angkasa bangkit dan masuk ke kamar mandi. Kebiasaannya selain bermain basket di malam hari, adalah mandi air hangat malam.

Angkasa menyalakan shower dan membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan Raya masih meratapi nasibnya di depan pintu kamar Angkasa, matanya terbuka lebar saat mendapati Angkasa mengirimkan pesan kepadanya.

Angkanata :
|Udh, balik ke kmr lo
|Gw baik2 aja

Pesan itu mungkin sedikit melegakan hati Raya, tapi tetap saja, rasa bersalahnya belum cukup hilang. Raya kembali memandang pintu kamar Angkasa, berharap lelaki itu ada di depannya sekarang.

"Maaf, Sa, gue nggak bermaksud. Maaf," bisik Raya. Entah kenapa ada rasa aneh, yang Raya pun tak tau rasa apa itu.

--💗--

Keesokan harinya, Angkasa masih tak berbicara pada Raya. Menatap Raya pun tidak. Angkasa seperti menjauh, dia tetap menurunkan Raya di halte tanpa berkata apapun dan di kelas pun dia seperti patung hidup. Tidak berbicara sama sekali. Bahkan dengan Ryan pun tidak.

"Lo kenapa, Sa? Nggak biasanya tiba-tiba nggak mau ngomong sama sekali," ucap Ryan yang langsung membuat Raya fokus pada kedua cowok yang sedang duduk di meja pojok itu. Angkasa dan Ryan.

"Kenapa sih? Biasanya jawab, ya, walaupun cuma 'iya' atau 'hmmm'. Tapi hari ini nggak ngomong sma sekali lo, kenapa? Bau mulut?" tanya Ryan lagi membuat Angkasa menatap tajam cowok itu.

Tanpa berkata apapun Angkasa bangkit dan meninggalkan kelas, mengundang berbagai pertanyaan bercokolan di kepala Ryan. Raya pun hanya menatap kepergian Angkasa dengan tatapan kosong.

"Hadeh, tuh temen gue kenapa ya?" ucap Ryan tiba-tiba yang sudah berada di samping Raya sambil menelungkupkan tangannya. Raya hampir saja terjatuh karena kaget. Dia kira Dera sudah kembali dari kantin. Tapi ternyata cowok menyebalkan itu.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang