27 - Tidak Asing

3.8K 216 2
                                    

Angkasa diam menatap Raya yang berjongkok bersama Rain, berbicara pelan pada nisan Sasha didepannya. Sesekali Raya menyelipkan anak rambutnya kebelakang telinga dan mengelap air matanya dengan lengan hoodie kuning yang ia kenakan.

Angkasa menghela napas, ia yang sedari tadi hanya berdiri menatap Raya yang sepertinya begitu sedih. Sangat berbeda dengan Rain yang terlihat mencoba tetap kuat, ia menepuk pundak Raya menenangkan.

Cowok itu kemudian menghela napas, ia kemudian berjongkok dan menatap Raya yang berada didepannya.

"Ngapa lo?" tanya Raya sinis dengan suara parau membuatnya terlihat lucu.

"Jangan nangis, jelek," ucap Angkasa tenang. Cowok itu kemudian kantong plastik berisi bunga didepan Raya lalu mengeluarkan isinya.

Angkasa menaburkan bunga itu diatas makam Sasha sambil begumam pelan membuat Raya diam-diam tertegun.

"Sash, jangan buat cewek gue nangis dong. Dia udah jelek, kalau nangis kan tambah jelek. Gue suka sama dia, udah nggak suka sama kakak lo. Lo jangan nyuruh gue deket sama kakak lo lagi ya? Ck, dia sama kakak gue jadinya. Mereka udah mau nikah tuh. Nggak mau nyelametin? Atau mau gue sampein? Lo baik-baik disana, tetep jadi Sasha yang gue kenal. Besok kita bakal ketemu lagi kok, tunggu aja gue ada dialam yang sama—"

"Wey gila lo!"

Sentakan itu membuat Angkasa yang sedang asik meracau jadi diam dn mengangkat alisnya serta mendongak menatap Raya yang sedikit emosi mendengar kata 'tunggu gue dialam yang sama'.

"Apa?"

Raya mendengkus kesal. "Jangan pergi," lirih Raya membuat Angkasa mengangkat alisnya lebih tinggi. Ia kemudian menghela napas.

"Semua orang juga bakal mati, Ray nantinya," balas Angkasa membuat Raya mendelik tapi hanya diam tak bisa membalas ucapan Angkasa.

"Heh, Sa, lo tadi kaya lagi ngobrol sama Sasha. Betah banget," celetuk Rain membuat Angkasa terkekeh.

Ia kemudian bangkit. "Yuk, udah selesai kan?"

Raya dan Rain mengangguk bersama. Mereka lalu berdiri, berpamitan pada Sasha sebelum benar-benar pergi dari pemakaman itu.

Mereka bertiga berjalan bersama, saling diam, membuat keadaan menjadi canggung.

Raya yang berada ditengah-tengah antara Rain dan Angkasa kemudian berdeham, memecah kecanggungan diantara mereka membuat Angkasa menoleh pelan menatap Raya.

"Ehm, Sa ... kita anter Rain pulang dulu ya?" ucap Raya mendongak menatap Angkasa yang hanya mengangguk mengiyakan.

"He? Nggak apa-apa? Rumah kita beda arah lho," ucap Rain merasa tak enak.

"Nggak papa," sahut Angkasa sekenanya.

Tak lama, akhirnya sampai didepan rumah Rain. Raya minta pada Angkasa untuk berbicara sebentar dengan Rain, mau tak mau Angkasa mengiyakan dan menunggu dua orang itu selesai melepas rindu.

"Eh, Ray, itu yang namanya Angkasa? Buset ganteng banget dah," ucap Rain berdecak kagum memandangi Angkasa yang sedang gabut metik-metik daun didepan rumah Rain.

Raya berdecak kesal. "Tapi ngeselin!"

"Tapi lo suka kaannn? Ngaku hayooo," goda Rain membuat Raya menunduk dan mengerucutkan bibirnya.

"Sama aja kaya lo, ngeselin stadium lima!"

"Cih, lo udah stadium sepuluh!"

"Ribut mulu, ngajak berantem lo?"

"Ayok, baku hantam aja dah."

"KALO MAU TAWURAN GUE PULANG AJA YA RAY!" teriak Angkasa tiba-tiba membuat Rain dan Raya langsung kicep.

"Udah sah nih jadi pacar???" goda Rain mencolek dagu Raya.

"Aish! Nggak ah, gue mah nggak pacaran sama dia."

"Ah yang bener???"

"Iya. Gue nggak pacaran—"

"Tapi bentar lagi," potong Angkasa dari belakang mendekati Raya yang langsung mengumpat sebal kenapa Angkasa main nyaut-nyaut aja.

"ACIEEEEEEE!!!" pekik Rain menggoda membuat pipi Raya seketika memanas.

"UDAH AH SONO MASUK LO! GUE SAMA ANGKASA MAU CEPET-CEPET PULANG!" usir Raya menyuruh agar Rain masuk kedalam rumahnya.

"Lho langsung pulang ke Jogja?" tanya Rain langsung melebarkan matanya berhenti didepan pagar rumah yang sudah sedikit terbuka.

Raya bergumam pelan. "Kalo Angkasa capek sih nginep dulu, besok baru pulang," jawab Raya memandang Angkasa.

Angkasa melengos. "Ngapa sih cepet-cepet? Masih ada dua hari libur kan? Kita main-main dulu lah di sini," ucap Angkasa membuat Rain mengangguk setuju.

"Apasih! Lo emang udah ngerjain tugas?" ucap Raya tak setuju.

Angkasa mengangkat alisnya bingung. "Emang kita punya tugas? Dari siapa?"

Raya langsung kicep, ia kemudian menggembungkan pipinya kesal dan segera berjalan melewati Angkasa, tak lupa tangannya segera menggandengan tangan Angkasa membuat Angkasa refleks berbalik sambil berpamitan singkat pada Rain.

"JANGAN LUPA PEJE-NYA PEJE-NYA!" teriak Rain menggoda.

Raya masih bersungut-sungut sebal sambil terus berjalan meninggalkan rumah Rain. Kesal karena sahabatnya itu terus menggodanya.

"Kalo mau gandengan bilang aja kali. Nggak usah nyeret-nyeret gue segala." Angkasa segera menyamakan langkah dengan Raya dan menatap cewek itu lamat-lamat. Menikmatinya.

Raya mendengkus, merasa telapak tangan Angkasa bergerak seakan ingin melepas. Apa Angkasa nggak suka ya mereka gandengan gini? Raya menggigit bibir bawahnya, khawatir Angkasa justru akan marah nanti dia nggandeng nggak bilang-bilang.

"Gandengan yang bener," ucap Angkasa kemudian, "nih kaya gini," sambungnya merubah posisi tangannya jadi bergandengan dengan Raya—seperti pasangan normal yang sedang berjalan-jalan mesra di sore hari.

"Apa sih." Raya menunduk, merasakan pipinya memanas.

"Salting mah udah keliatan, nggak usah nunduk-nunduk." Menyebalkan, Angkasa selalu saja bisa membuat perasaan Raya menghangat dan berubah jadi kesal dalam waktu bersamaan.

"Mau kemana nih?" tanya Angkasa berusaha mencari topik agar tidak canggung. Jujur dia sekarang agak nerveous gandengan sama Raya, apalagi di tempat terbuka kaya gini.

"Ke taman deket rumah," jawab Raya ketus.

Angkasa hanya bergumam pelan dengan senyum kecil di sudut bibirnya. Tapi senyum itu langsung memudar saat menatap taman kecil dengan air mancur mini ditengahnya.

Tempat ini ... seperti tidak asing.

💗💗💗

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang