38 - Kasih Sayang

3.5K 178 8
                                    

Angkasa menggeser tubuhnya, berguling ke kanan-kiri sampai tak sadar hingga terjatuh dari ranjangnya—yang sebenarnya milik Ryan.

Angkasa menghela napas dan segera duduk. Ia meniup rambutnya yang sudah agak panjang. Ia mengacak rambutnya dan menggeram kecil.

"Gue laper anjir ...," desisnya pelan. Ia menghela napas.

"Si Raya juga nggak peka banget sih. Udah tau gue nggak di rumah, pasti nggak makan, lah dia malah nggak dateng atau tanya Ryan langsung gitu? Ck, dasar nggak peka," racau Angkasa mulai menyalahkan Raya. Padahal kan yang salah dia pergi dari rumah.

Angkasa kemudian bangkit berjalan keluar mencari makanan. Ini kan kafe, pasti di lemari makanan banyak bahan.

Langkah Angkasa menyeret kaki terdengar, ia menyalakan lampu lorong menuju dapur. Sedikit aneh berada di kafe besar sendirian—apalagi kafe milik sahabatnya yang bobrok itu.

Mata Angkasa kemudian menangkap cahaya masuk menembus dinding kaca depan.

Hm.

Siapa malam-malam begini?

Langkah Angkasa kemudian jadi berbelok. Ia berjalan menuju meja pesan yang mengarah langsung ke pintu masuk yang terbuat dari kaca. Disana ada mobil, dengan mobil hitam berhenti di parkiran. Angkasa mengernyit.

Seorang wanita paruh baya turun dari pintu bagian kiri dan seorang pria berjas formal berjalan menghampiri wanita itu setelah mematikan mesin mobil. Angkasa berdecak. Tahu siapa yang datang.

Wanita itu mengetuk pintu kaca. Tahu bahwa Angkasa berdiri tak jauh dari meja pesan kafe. Angkasa menghela napas, walaupun dia tahu tidak sepenuhnya ibunya salah dalam masalah ini, tetap saja dia membenci pria itu.

Angkasa dengan berat hati membukakan pintu. Ia menatap Elina datar yang disambut senyum manis wanita itu, yang selalu sama, hangat, tidak pernah berubah.

"Kamu kenapa kabur dari rumah?" tanya Elina langsung.

Angkasa melengos pelan. Ia menatap Elina bahunya jadi menurun. Elina kemudian tersenyum, mengambil tangan Angkasa dan menggenggamnya menyalurkan kehangatan.

Angkasa menunduk menatap tangannya dan Elina bertaut. Sudah lama ... ia tidak merasakan hangat seperti ini.

Elina kemudian mengajak Angkasa ke salah satu meja yang kursinya sudah di tata oleh pria yang bersama Elina tadi. Elina kemudian duduk di sebelah Angkasa, tangan mereka masih bertaut.

"Kamu sudah mengerti?" tanya Elina lembut membuat Angkasa menunduk makin dalam.

"Maaf ...," gumam Angkasa lirih.

Elina tersenyum tipis mengacak rambut Angkasa lalu merapohkannya lagi. Elina terkekeh.

"Yang penting kamu mengerti," ucap Elina. "Hm ... dan dia ...."

Elina menunjuk pria yang berdiri didepan Elina dan Angkasa. Pria itu menunduk sopan. "Asisten saya," sambung Elina.

"Memang saya terlihat terlalu dekat dengan dia. Tapi kami tidak seperti itu, Bagas masih jadi pemilik hati saya. Dan sebaliknya. Kami hanya butuh waktu untuk memperbaiki semua kesalahan. Memang Bagas cemburu saya terlalu dekat dengan Theo. Tapi itu hanya alasan agar jarak antara saya dan dia semakin jauh Angkasa. Kamu harus mengerti," jelas Elina dengan nada keibuan membuat Angkasa pelan-pelan mendongak.

"Kalian tidak pacaran?" tanya Angkasa melebarkan matanya.

Theo terkekeh pelan. "Aku hanya asistennya. Lagipula kalau aku pacaran, tunanganku akan marah ...," ucap Theo mencoba bergurau.

Angkasa terkekeh pelan. "Maaf ... telah salah paham," ucap Angkasa menatap Theo lurus membuat Theo tersenyum penuh arti.

Angkasa kemudian mengangguk-angguk pelan. Ia menunduk. Salah paham sudah selesai, dan jika keinginannya ini boleh terkabul maka Angkasa akan sangat bahagia.

Ia ingin semua kembali seperti semula.

Elina dan Bagas bersama. Langit dan Angkasa yang kembali menjadi duo semesta seperti dulu dan Senja yang tidak perlu lagi sekolah jauh.

Tapi ... tunggu.

Angkasa melebarkan mata membuat Elina langsung tertawa melihat putranya baru menyadari makna ucapannya tadi.

"Ibu tidak bercerai? Kalian masih terikat pernikahan?! Arggghhhh ... masa gue baru sadar! Bloon banget njir," ucap Angkasa tak karuan sampai tak sadar ia mengumpat kecil membuat tawa Elina makin meledak, begitupun Theo yang terkekeh pelan. Jaim didepan atasan itu harus dan wajib hukumnya.

"Sudah sudah jangan menyalahkan diri sendiri. Bagaimana kalo kita makan malam bersama?" tanya Elina mengangkat bungkusan plastik membuat Angkasa lanhsung tersadar baunya.

"Haaa ... pasti nasi goreng," tebak Angkasa menunjuk-nunjuk bungkusan itu.

Elina mengerucutkan bibirnya dan menggeleng. "Salah," ucapnya membuat Angkasa mengernyit. "Ini nasi goreng spesial dari Mama kamu tercinta," sambungnya membuat Angkasa terbahak membuat kedua matanya menyipit.

Mereka kemudian melanjutkan dengan makan malam di temani Theo yang memainkan piank di pojok kafe. Angkasa tidak tahu kalo disana ada piano. Jika tahu mungkin Angkasa akan main semalaman.

Omong-omong, Theo jago juga bermain piano. Tangannya lihai kesana kemari meneksn tuts-tuts piano membuat Angkasa sedikit tertarik memperhatikan Theo bermain. Sesekali Theo menawarkan diri untuk mengajari Angkasa tapi Angkasa menolak bilang bahwa itu hal mudah padahal dalam hati dia pengen banget belajar piano biar lebih mastah lagi.

"Oh, iya, pasti Ryan ya yang ngasih tau kalo aku disini?" tanya Angkasa dengan nada menyelidik menatap Elina.

Elina meneguk sirupnya dan terkekeh. "Siapa lagi?" ucapnya mengedikkan bahu.

Angkasa tersenyum. Kalo seperti ini hatinya akan tenang. Tidak ada lagi kebencian.

Angkasa menatap wajah Elina. Tidak pernah berubah, selalu cantik, dia akui itu. Dengan rambut khas bergelombang dan pendeknya Elina terlihat begitu menawan. Apalagi dia punya materi banyak tak heran banyak orang melamarnya padahal dia sudah punya suami.

"Ibu ...."

"Ya?" Elina melebarkan mata menatap Angkasa dengan antusias menunggu kalimat Angkasa yang keluar selanjutnya.

"Apa itu akan pulang?"

Elina terdiam.

💗💗💗

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang