36 - Pergi

3.8K 186 1
                                    

Setelah melihat kumpulan video yang Ryan kirim. Angkasa menjadi serba salah. Ia sampai mengecek sendiri kebenaran video itu dan benar saja, berkali-kali Angkasa cari, berkali-kali itu juga berita itu-itu saja yang muncul.

Lagipun salah stu kejadian di video itu juga Angkasa kenali. Tidak mungkin jika itu editan.

Tapi, kenapa Ayahnya melakukan itu?

Yang Angkasa tahu Ayahnya hanya orang yang tak berambisi besar, bertolak belakang dengan Ibunya. Tapi kenapa sekarang?

Tanpa banyak berpikir lagi, Angkasa memutuskan untuk menemui Ayahnya di ruang kerja rumah. Sekarang tepat jam 12 malam, tapi ia tahu Ayahnya pasti tidur larut sekali. Itu karena dia juga sering tidak tidur malam. Kebiasaan buruk memang.

Dengan langkah hati-hati dan seminimal mungkin tak mengeluarkan suara, Angkasa akhirnya sampai didepan ruang kerja Wijaya. Lampu masih menyala, terlihat dari kaca kabur yang ada dipintu ruangan.

Angkasa tadinya ingin masuk, tapi ia jadi mengurungkan niat begitu mendengar suara orang bercakap-cakap. Membicarakan hal yang tidak begitu Angkasa kenali.

"Kamu cerita apa ke mereka, hah?!" pekikan itu berasal dari telepon—mungkin—karena terdengar agak tidak jelas. Wijaya didalam sana tertawa, khas orang kaya.

"Hanya kutambahi sedikit bumbu fiksi," jawab Wijaya dengan enteng.

"Kamu! Benar-benar!" ucap wanita ditelepon itu geram.

Angkasa melebarkan matanya, tunggu ... bukankah ini suara—

"Elina, Elina, sebanyak apapun usahamu, tetap tidak akan merubah fakta. Mereka sudah sangat membencimu."

"Aku tahu itu berat. Dibenci oleh anak sendiri. Ck, aku sungguh prihatin. Tapi aku juga tidak ingin imageku jelek. Jika mereka tahu bahwa kamu adalah Ibu mereka, yang tentunya kaya raya, terkenal dan hidup penuh kemewahan, jadi orang terkaya di dunia. Sedangkan aku hanya seorang CEO dari perusahaan yang hanya dikenal beberapa negara. Itu akan membuatku terasa jadi lelaki yang kedudukannya lebih rendah dari istrinya—"

"Apa pedulimu!" teriak Elina memotong kalimat Wijaya. "Yang kamu pedulikan hanya uang, jabatan, ketenaran!"

Wijaya terkekeh. "Aku ingin mengakhiri omong kosong ini. Sudahlah, jangan berusaha lebih keras atau kulit berkeriput itu terus tumbuh," ucap Wijaya langsung menutup telepon sepihak.

Wijaya yang sedang menelpon membelakangi meja kerjanya terkekeh pelan. Ia kemudian memutar kursinya dan terhentak begitu melihat Angkasa sudah berdiri didepannya, menatapnya dingin dan tajam.

"A-angkasa? Kamu butuh apa—"

"Apa maksud semua tadi?"

"Tadi? Ah, itu. Hanya bisnis."

Angkasa menghela napas kasar. Bosan jika ayahnya sudsh bertele-tele seperti ini.

"Bisnis untuk menghancurkan kehidupan anakmu sendiri?" tanya Angkasa sarkastik.

Wijaya mengalihkan tatapannya. Persis seerti maling tertangkap basah yang mencoba mencari alasan.

"Seberapa banyak kamu mendengar?"

"Kurasa ... semua."

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang