26 - Cahaya

3.7K 217 3
                                    

Raya melirik ke arah Angkasa yang fokus menyetir. Raya menghembuskan napas lagi lalu menunduk membuat Angkasa berdecak pelan.

"Gue nggak mau, Ray, makan sama dia. Gue—"

"Bukan itu ...."

Raya langsung memotong ucapan Angkasa membuat Angkasa menoleh sebentar dan menaikkan satu alisnya sebelum kembali menoleh ke arah depan.

"Terus soal apa?" tanya Angkasa enteng tanpa menatap Raya.

Raya memainkan jarinya, membasahi bibir dan mulai berbicara.

"Ntar langsung ke makamnya Sasha, nggak papa?" tanya Raya dengan suara sedikit tertahan membuat Angkasa melirik gadis disampingnya yang menunduk dalam.

"Kenapa nggak ke rumah lo dulu?" tanya Angkasa tak langsung menjawab pertanyaan Raya.

"Ya ... gue soalnya ... anu ...." Mata Raya menatap kanan-kiri mencoba mencari alasan yang logis.

"Anu? Ambigu, Ray, yang jelas dikit," sela Angkasa membuat Raya langsung mendelik.

"Ish, otak lo!" geram Raya memukul pelan kepala Angkasa, "orang gue udah kangen sama Sasha," sambung Raya mendapat alasan yang cukup tepat. Setidaknya begitu dipikiran Raya.

"Hm? Kangen? Lo kesana kemarin pun nggak bakal ketemu dia," ucap Angkasa merasa tak setuju jika langsung ke makam Sasha. "Mandi dulu. Bersih-bersih, kan nanti doainnya jadi lebih enak. Khusyuk. Kalo kaya gini mah udah keringetan, bau lagi lo," jelas Angkasa tanpa menatap Raya dengan sindiran di akhir kalimat membuat Raya yang tadinya berpikir dua kali jadi mendelik tak terima.

"GUE WANGI TAU!" ucap Raya tak terima.

"Hih, bau. Hidung gue ternodai," goda Angkasa seakan tak percaya. Padahal aslinya Raya tuh wangi banget, baunya bau bayi padahal pakai parfum dewasa.

"Heh! Pengen kena ya lo!" pekik Raya ingin berdiri tapi ingat bahwa mereka sedang didalam mobil dan dalam keadaan berjalan dengan kecepatan tinggi membuat Raya mengurungkan niat menonjok Angkasa.

Nanti saja kalau sudah sampai.

Dia akan memukuli Angkasa sampai puas.

Angkasa tersenyum, ia menoleh sebentar sambil menjulurkan lidahnya mengejek membuat Raya hanya bisa duduk dengan emosi yang sudah meledak-ledak.

Raya kemudian mengalihkan tatapannya jadi menatap keluar jendela mobil. Sedangkan Angkasa terkekeh sesekali melihat muka Raya yang merah padam karena menahan emosi.

Sampai ...

Keadaan menjadi hening.

Raya tak berniat membuka pembicaraan sedangkan Angkasa bingung ingin membuka pembicaraan tapi tak tahu mulai dari mana.

"Ehm ... lo kenapa nggak mau pulang ke rumah lo dulu?" tanya Angkasa sedikit kaku.

Raya menghela napas, ia kemudian menatap Angkasa dengan mata sedikit berkaca-kaca membuat Angkasa mengerjap, tersentak. Apakah Raya mau menangis?

"Hm, nggak papa kok," balas Raya ragu.

Angkasa menghela napas. "Nggak apa-apa kok mau mewek," cibir Angkasa.

"Ish, beneran nggak papa kok," sahut Raya tapi suaranya mengatakan hal lain. Nada suara Raya jadi lebih parau.

Angkasa jadi mengerjap merasa salah bicara. "Lo kenapa? Ada masalah? Cerita ke gue sini," tawar cowok itu membuat Raya mendesis sebal.

"Perasaan lo duluan yang mendem perasaan nggak mau curhat ke orang. Kok sekarang jadi gue," balas Raya dengan suara masih parau.

Angkasa mengulum bibir, menahan untuk tidak tersenyum melihat tingkah lucu Raya.

"Oke, nanti kuta saling berbagi kalau udah sampai," putus Angkasa membuat Raya menoleh menatap Angkasa dari samping.

Perlahan senyum Raya terkembang, seperti ada cahaya baru baginya untuk menceritakan rahasia yang sudah ia pendam bertahun-tahun lalu.

Angkasa yang menyadari itu menoleh sebentar dan tersenyum. "Nah, gitu dong. Senyum," ucapnya lalu kembali menatap jalan didepan yang masih sangat panjang.

"Makasih ya, Sa," ucap Raya tulus.

"Iya ... kalau ada apa-apa bilang aja ke gue."

Karena gue nggak mau liat lo sedih, Ray lanjut Angkasa dalam hati.

💗💗💗

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang