5

5.3K 245 3
                                    

Cerita ini hanya fiksi belaka,
hanya karangan yang tercipta dari hayalan tinggi yang mengada-ngada. Harap bagi pembaca dapat mengerti dan memaklumi. Dan cerita ini hanya untuk manusia yang sudah seharusnya memiliki KTP.
...

Pagi ini terlihat mendung, kelabu menyelimuti kota membuat para manusia memutuskan keluar dengan mobil-mobil yang mereka miliki atau memesan tansportasi roda empat pada aplikasi tranportasi online. Tentu saja jalan yang sudah padat menjadi tambah padat. Hingga Jun tak bisa menghitung sudah berapa lama mobilnya tidak bergerak sama sekali dari posisinya.

Ponselnya berdering namun dia tidak bergeming, sudah beberapa hari ini dia mengabaikan ponselnya, mengabaikan setiap panggilan yang ditujukan padanya, terutama dari mamanya. Dia belum siap berbicara dengan mamanya. Karna apapun yang akan terucap dari bibirnya mamahnya pasti akan tau ada sesuatu yang ia berusaha sembunyikan. Memang lebih mudah berlari disaat-saat seperti ini.

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu dan dia belum juga merasakan perubahan apapun, tidak ada yang berubah dari dirinya. Tapi dia juga gak tau kapan tepatnya seseorang sadar dirinya hamil. Apakah dia akan hamil atau tidak, itu masih menjadi misteri. Dan dia juga tidak berani memeriksakan nya ke dokter. Dia terlalu takut mengetahui faktanya.

Setelah berjam-jam menikmati perjalanan yang terasa panjang dengan kesunyian tanpa musik dan keramaian dari klakson mobil yang bersaut-sautan akhirnya Jun bisa sampai ke kantor dengan keadaan selamat walau tanpa kesadaran penuhnya di bumi.

"lo gila ya!"

Sautan ketus penuh menekanan itu yang pertama kali menyambutnya.

Jun mengabaikan orang itu dan memilih duduk di kursinya dan meneliti dokumen-dokumen diatas mejanya yang sudah lama ia tidak sentuh.

Orang yang merasa di abaikan itu pun mendekatinya dan duduk tepat didepan meja Jun dengan tangan dilipat dan sorot mata tajam mengintimidasi. "lo kemana aja seminggu menghilang?"

"gue kan udah bilang, gue ambil cuti" jawab Jun tanpa mengalihkan tatapannya dari dokumennya.

Mata Anjeli melotot tak terima dengan jawaban Jun yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. "lo mentang-mentang bos jangan seenak jidat dong, lo cuti apaan? cuma chat gue bilang kalau gue harus ngerjain tugas-tugas lo semua selama seminggu. Di sini ada peraturan cutinya tau."

"kalau lo gak suka, lo bisa keluar" tukas Jun tak ingin mengambil pusing.

Anjeli Syok. kakak satu-satunya itu baru saja ingin mengusirnya. Jun tidak pernah seperti itu sebelumnya. Untuk seorang Jun yang selalu menyayangi adiknya dan selalu mengomel seperti ibu-ibu, kata tajam yang singkat bermakna sadis itu tidak mungkin dia ucapkan. Anjeli hanya bisa diam menatap kakaknya yang sibuk dengan dokumen-dokumennya, berfikir apa yang terjadi pada kakaknya.

Terakhir Anjeli bertemu kakaknya minggu lalu, hari itu seingatnya tidak ada kejadian aneh dan kakaknya terlihat baik-baik aja. Namun tiba-tiba saja kakaknya mengambil cuti selama seminggu, pergi entah kemana. Bukan seperti kakaknya yang biasa, yang selalu mengutamakan pekerjaan dan tidak pernah mempercayakan dirinya mengantikan posisi kakaknya bahkan sedetik pun. Sebenernya apa yang terjadi?

Telfon diatas meja Jun berdering, namun diabaikan olehnya. Anjeli pun berinisyatif mengangkatnya mengingat telfon itu takkan berdering jika tidak penting.

Setelah beberapa menit mendengarkan, Anjeli pun menutup telfon dan mengembalikannya ke atas meja.

Anjeli berdehem beberapa kali agar pandangan kakaknya berfokus padanya. "Ada Pangeran bisnis dibawah, dia akhirnya berhasil kita ajak kerja sama" ucap Anjeli histeris, seakan suasana dingin tadi tidak pernah terjadi.

Jun mendesah berat, dia sedang tidak ada mood bertemu klien, dengan kondisinya yang sekarang, ia bisa dengan mudah menghancurkan perusahaanya. "lo yang urus, gue banyak kerjaan" ucapnya sembari berdiri dari duduknya.

"Tapi kak, dia sudah menjadi target kita sejak lama dan lo sebagai CEO disini gak mau nyambut dia?" Anjeli ikut berdiri, berusaha menyamai tinggi kakaknya.

"serius gue lagi gak mood parah, lo mau atau enggak serah lo. kalau lo gak mau, undur saja pertemuannya" Tukas Jun tak terbantah.

Jun melangkah keluar dari ruanggannya lalu memasuki lift, meninggalkan adik kecilnya disana dengan hati diselimuti rasa bersalah. Dia merutuki dirinya sendiri, tidak benar melampiaskan emosinya pada adiknya, adiknya tidak tau apapun, Anjeli tidak salah. Jun merasa sangat egois.

Nyatanya kabur dari dunianya selama seminggu tak merubah apapun, dan tak pengurangi rasa tidak terdefinisi ini sama sekali.

#

Tinggg....

Zefa mengangkat wajahnya dari ponselnya saat pintu lift terbuka. Matanya terfokus pada seorang perempuan yang baru saja masuk, pandangan perempuan itu terlihat kosong, dan wajahnya terlihat muram.

"Ah sejak kapan gue peduli dengan orang di sekitar gue" ucapnya pada dirinya sendiri.

Zefa mengalihkan tatapanya dari perempuan itu, dia memerhatikan sisi lain dari tepat perempuan itu berdiri. Yang membuat dia baru menyadari sekertarisnya sudah turun dari lift bersamaan dengan perempuan ini masuk. Dia merasa bodoh masih didalam lift ini disaat dia seharusnya sudah memulai bernegosiasi soal pekerjaannya.

Ctak...

Zefa tersadar dari lamunan nya saat mendengar sebuah benda terjatuh. Dengan cekap tanggap dia meraih benda itu yang ternyata adalah sebuah pulpen dengan tutup berbentuk minion yang pastinya bukan miliknya.

Dia pun menepuk pundak perempuan itu pelan. Karena hanya satu kemungkinan pulpen ini milik siapa.

Jun yang sedari tadi hanya melamun, kembali tertarik kedunia nyata saat pundaknya disentuh oleh seseorang, refleks ia menoleh pada orang tersebut. "ya?"

Pandangan mereka bertemu, Zefa terdiam melihat wajah Jun yang benar-benar terasa familiar untuknya.

"ada apa?" tanya Jun lagi, berusaha terlihat ramah.

"oh ini, tadi jatoh" Zefa menyodorkan pulpen tersebut.

Jun pun meraihnya namun Zefa tetap menahan pulpen itu di genggamannya, membuat Jun bingung sebenarnya apa yang dilakukan pria ini.

Jun menatap pria di hadapanya dengan tidak berminat. Wajah yang semula berusaha terlihat ramah hilang begitu saja. 

"Apa maksud pria ini menahan pulpenya? Apa dia suka dengan pulpenya?" Pikir Jun.

Zefa beredehem, "apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Zefa dengan kerutan di dahinya, dia berusaha mengingat semua perempuan dan wanita yang pernah ada di dekatnya tapi dia benar-benar tidak menemukan jawabanya.

"hah?" Jun bingung dengan pertanyaan yang diajukan untuknya itu. Apakah ini modus belaka?

Zefa sibuk meneliti wajah Jun yang benar-benar terlihat familiar. Kepalanya terus berusaha mencari jawaban.

Perempuan ini rambutnya di kuncir kuda dengan poni di dahinya, Dia memakai kaus berwarna kuning dan celana kodok denim yang robek di sisi lututnya. Zefa yakin tidak mungkin jika dia datang ke kantor ini untuk bekerja. Dan dari usianya sepertinya dia berumur 17 tahun. Apa mungkin dia adik dari CEO perusahaan ini?

Tingg....

Pintu lift terbuka tepat di lantai loby. Jun segera melangkah keluar, sedikit berlari kecil agar bisa segera menjauh dari pria aneh yang terus saja menatapnya tanpa berkedip seakan ingin melahapnya jika ia lengah.

"Bocah" pekik Zefa tepat saat pintu lift kembali tertutup. Zefa pun ingat. Poni tipis itu, Bocah yang ia nodai. Bocah yang menganggu pikirannya belakangan ini. Yang membuat Zefa dihantui rasa bersalah.

"Tapi tunggu, dia tidak mengenali gue?" gumam Zefa tak percaya.

#

Not Out of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang