8

4.6K 213 12
                                    

Cerita ini hanya fiksi belaka,
hanya karangan yang tercipta dari hayalan tinggi yang mengada-ngada. Harap bagi pembaca dapat mengerti dan memaklumi. Dan cerita ini hanya untuk manusia yang sudah seharusnya memiliki KTP.
...

"Bulan Juni, wanita mandiri yang berhasil mendirikan perusaan fasion. Tinggi 157, berat badan 51, usia 27 tahun, lulusan S1 universitas swasta biasa dengan rata-rata nilai jelek tapi punya ambisi dan niat yang besar..."

"Saya tidak berniat dijodohkan" tukas Zefa memotong ucapan ayahnya.

Zefa baru saja sampai di ruangan kerja ayahnya di perusahaan Adijaya Group, tapi ayahnya sudah menodongnya dengan menyebutkan nama aneh yang pastinya adalah nama seorang wanita yang dijodohkan denganya, seperti biasa. "Bulan Juni? itu nama orang atau bulan lahir? Tamatan S1 dari universitas biasa dan nilai jelek? Ayah benar-benar sudah frustasi rupanya" gumam Zefa dalam hati dengan senyum tipis.

"aku hanya menyebutkan nama mainan baru mu" ayahnya berkata angkuh dengan wajah yang tidak ada sama sekali memperlihatkan kelembutan seorang ayah.

Zefa melihat ayahnya yang duduk di singgasananya dengan angkuh bak raja penguasa segalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang ayahnya katakan. Mainan barunya? yang benar saja.

Ayahnya. Pak Adijaya. berjalan kearahnya meninggalakan singgasananya dan ikut duduk disofa bersama nya. Dengan wajah datarnya, pak Adijaya meletakan sebuah map diatas meja.

Zefa segera meraih map itu dan membukanya. Disana ada banyak foto dari seorang cewek yang sama dari berbagai sudut dan ada biodata cewek tersebut yang Zefa ketauhi adalah bocah yang baru saja ia jaili. "Ayah memata-matai ku?"

Pak Adijaya tertawa terbahak, "kenapa kaget?"

Ya tentu saja ayahnya memata-matainya kemanapun dan dimana pun. Memastikan dia tidak mencoreng nama baik ayahnya dengan sikap arogannya. Dan Zefa tentu sudah tau itu, mengingat dari lahir dia sudah tidak bebas dari pantauan ayahnya.

Zefa mulai membaca biodata Jun dan dia bolak balik mengerutkan dahinya bingung. "Ayah sepertinya salah..."

Pak Adijaya tertawa lagi, seakan tawanya berarti 'aku tidak pernah salah' "kenapa? kamu berpikir dia adalah anak remaja 17 tahun? yang masih sibuk dengan tugas sekolah dan sibuk mengatasi kelabilannya? Kamu polos banget nak"

Zefa meletakan map itu kembali diatas meja lalu menatap ayahnya dengan tatapan tajamnya. "Mau ayah apa sebenenya?"

"kamu tau apa yang saya inginkan..."

Zefa tau arah pembicaraan ayahnya kemana. Ayahnya ingin dia menikah dan memiliki anak laki-laki untuk penerus perusahaan. Tapi itu adalah hal nomer satu yang tidak akan pernah ingin Zefa lakukan. Tidak akan pernah, bahkan walau dia harus mengorbankan kehidupannya.

"...menikah dengan nya" satu kalimat penuh penekanan. "aku sudah tua, aku ingin melihat penerus perusaan ini setelah kamu, aku gak mau bisnis ini hanya berhenti dikamu. Nikahi dia lalu buat dia melahirkan anak laki-laki dan setelah itu terserah pada mu"

Zefa berdiri dari duduk nya. "tidak" ucapnya penuh penekan, lalu ia mengambil map diatas meja. Berniat untuk pergi.

Pak Adijaya menyeringai, "tak apa, kamu tau aku memiliki anak selain kamu..."

Wajah Zefa berubah kaku, tubuhnya kembali berputar kearah ayahnya, ia menatap ayahnya dengan pandangan ingin membunuh. "jangan pernah ayah memikirkan hal itu" ucapnya penuh ancaman.

Melihat wajah anaknya yang penuh ancaman, pak Adijaya tersenyum kemenangan. "menikah lah" tekan pak Adijaya tak ingin menerima penolakan.

#

Hening, gelap, dan dingin. Tiga kata yang bisa mendefinisikan sebuah rumah besar yang hanya dihuni satu orang ini.

Tio meringis, melihat rumah yang seperti tak berpenghuni, namun dia tetap mendorong pintu tinggi dihadapanya untuk bertemu dengan seseorang yang dia yakini berada didalam sana. Walau dalam hatinya ia berharap dia salah menduga.

Tio mulai menyalakan lampu ruang tamu, dia melihat sepasang sepatu yang tergeletak sembarang, dan sebuah vas bunga yang sudah terbelah beberapa bangian dilantai dengan bercak darah menghiasi lantai menuju arah halaman belakang.

Tio segera berlari kearah halaman belakang. Matanya terbelalak saat sebuah pintu kearah ruang bawah tanah terbuka lebar. Tio mempercepat langkahnya dan masuk melalui pintu itu.

Seperti dugaannya, Zefa terduduk dilantai dengan tubuh dihantam mesin pelontar bola tenis, dengan pandangan mata kosong, seakan tak merasakan apa-apa.

Tio segera menyalan lampu ruangan dan mematikan mesin itu, namun Zefa masih belum menyadari kehadiranya.

Tanpa aba-aba Tio menonjok pipi Zefa hingga tubuhnya rubuh.

Zefa yang terkejut dengan serangan tiba-tiba itu, akhirnya sepenuhnya sadar, dan menatap sekertarisnya itu dengan pandangan membunuh.

"Makasih" dan akhirnya kata itu yang Zefa ucapkan tanpa merubah posisinya yang jatuh berbaring diatas lantai yang dingin.

Tio mendesah kecewa, "yah, padahal gue pengen nonjok lo lagi" guraunya berusaha mencairkan suasana.

"nyari mati lo ya?" Zefa tersenyum tipis lalu meringis saat menyadari bibirnya sedikit sobek akibat tojosan sekertaris durhakanya.

"jadi, ada apa?"

Zefa melihat Tio dengan pandangan lesu, yang langsung membuat Tio paham.

Tio mengambil posisi duduk tepat disamping Zefa. "sudah lah, setuju aja. Toh lo bakal dapet segalanya yang dia punya, hanya dengan nikah dan punya anak" Tio menepuk pundak Zefa pelan. "Ga ada ruginya juga lo nikah bos. Anggap aja hiburan, kalau gak suka ya tinggal usir aja dari hidup lo dan kasih dia satu perusahan lo. Beres. Kan lo cuma butuh anak cowok doang"

Zefa mengeram lalu melayangkan tonjokannya tepat pada tulang pipi Tio, yang sayangnya kurang kuat untuk membuat Tio tidak bisa berbicara lagi.

Tio meringis sembari memegangi pipisnya yang terasa nyeri "emang yang gue ucapin salah?"

"bangsat, lo ngomong gue bunuh" Zefa mengepalkan tanganya penuh ancaman.

Tio meringis dan tersenyum tipis. "Zefa, lo hanya perlu memilih."

#

Not Out of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang