43

374 41 6
                                    

"Tuh kan, kamu denger kan kata dokter, aku baik-baik aja" Zefa berusaha menenangkan Jun yang masih saja menatapnya dengan wajah sendu.

Seperti yang Jun inginkan, Zefa kini berada di salah satu ruangan VIP di sebuah rumah sakit, ia memeriksa kondisi tubuhnya sesuai permintaan Jun dan menjalani rawat inap walau itu tidak di perlukan sama sekali.

Jun menggeplak bahu Zefa dan Zefa pun meringis. "Tuh kan sakit" gerutu Jun dengan suara bergetar.

"Cuma terkilir sedikit Jun" Zefa tertawa renyah melihat Jun yang bertingkah seakan lebih pinter dari seorang dokter dengan memaksanya untuk di rawat inap.

Entah mengapa semakin Zefa mengenal Jun, rasanya ingin melindunginya semakin besar.

"Aku mau pulang aja" ucap Jun tegas.

Zefa tersenyum. "Kan kamu yang minta aku di rawat inap, kenapa sekarang kamu mau pulang?"

Jun menggeleng. "Bukan, bukan di rumah kamu itu"

Dahi Zefa berkerut dengan kedua alisnya menyatu "Jadi?"

Jun terdiam sebentar, lalu melanjutkan ucapannya dengan suara pelan. "Ke arpatemen ku, kembali bekerja di kantor ku"

"Kenapa?" Tanya Zefa semakin bingung.

"Aku gak nyaman, dan kamu selalu saja terluka karena ini, disini atau disana akan sama saja. Karena ayah mu juga sudah mengetahui kita dimana"

Zefa terdiam. Zefa memerhatikan wajah Jun yang memasang mimik meyakinkan seakan-akan keputusannya telah bulat. "Apa kamu yakin?"

Jun mengangguk mantap.

Zefa meraih lengan Jun dan menggengamnya erat. "Kalau kamu memang ingin kembali ke sana, menikah lah dengan ku"

#

Hanny di kagetkan dengan kehadiran tamu tak terduga di cafenya. Tamu yang menerobos hingga ruanganya walau di pintu cafenya sudah tergantung tulisan 'tutup'.

Kedua tamu yang kini menatapnya dengan pandangan penung keibaan.

"Hanny, pertama-tama gue mau ngabarin kalau laki lo udah gak waras" ucap Anjeli sebagai kalimat pembuka.

Bagas menyikut perut Anjeli, syok mendengar kalimat tidak senonoh itu. Kalimat yang menurutnya termasuk dalam katagori sadis.

Hanny tersenyum tipis. "Setidaknya dia masih hidup"

Anjeli dan Bagas kini saling tatap, bingung dengan kalimat yang Hanny lontarkan.

Anjeli mentap Hanny dengan mata yang menyipit. "Hanny sebenarnya apa saja yang lo tau?"

Lagi-lagi Hanny tersenyum. Sebuah senyum yang dapat menjelaskan segalanya. Menjelaskan bahwa Hanny tau semuanya.

Tanpa sadar, Air mata Anjeli menetes. "Hanny, lo jahat, lo kejam, lo tau banyak tapi lo cuma diem",

Hanny mendesah "Kamu berharap apa dari aku? Jalan sendiri aja aku gak mampu"

Anjeli berdecih. "Lo jangan jadiin cacat lo alasan dong"

"Hei" tegur Bagas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa tidak pantas dengan kalimat yang barusana Anjeli lontarkan.

Anjeli pun membuang pandanganya kearah lain.

"Kita bisa jalan bersama" ucap Bagas, menanggapi ucapan Hanny sebelumnya. Bagas berlutut dihadapan Hanny, ia menggengam kedua tangan Hanny dengan lembut. "Dengan bersama kita bisa melalui apapun tanpa rasa takut"

Hanny menggeleng. "Aku gak takut, sama sekali tidak takut, aku hanya merasa tidak pantas"

Air mata Hanny perlahan menyusup keluar. "Ayah membiarkan aku hidup walau ibu harus tiada, ia membesarkan ku walau tau aku ini perempuan dan cacat, aku di beri hidup yang layak dan enak, bahkan memberiku pendamping yang aku cintai" lanjutnya dengan suara bergetar.

"Tapi yang membuat kamu cacat adalah dia, yang buat ibu kamu meninggal juga dia" sabung Anjeli tak mau kalah.

"Dia bisa membunuh ku kapan saja, tapi dia membiarkan aku hidup" balas Hanny dengan sesengukan. "Kalau dia adalah sosok jahat di pandangan mu, bukan berarti aku juga memandang dia jahat"

Bagas dan Anjeli pun terdiam.

"Tapi dia gak mengangap lo anaknya, apa  pernah sekali saja dia datangin lo? Nelfon lo? Bertanya kabar lo?" Tanya Bagas dengan pelan. Berusaha meredam tangis Hanny.

Hanny menggeleng. "Bagi ku perhatian dia yang seperti sekarang ini sudah cukup"

Bagas mengeratkan gengamannya pada telapak tangan Hanny. "Berarti kamu mengabaikan hati kakak mu yang akan terluka?"

Hanny menatap Bagas nanar. "Dia yang kamu sebut kakak tidak mengenal ku, dan bukan aku yang akan membuatnya terluka, jadi bukan mengabaikan tapi aku memang tidak mau ikut campur. Aku adalah anak yang tau balas budi"

Anjeli menggerang kesal dan berjalan meninggalkan ruangan.

Bertemu dengan Hanny adalah tidakan yang sia-sia. Tapi Anjeli berusaha mengontrol emosinya dan berfikir jernih. Dia merasa harus mengetahui cerita Hanny, untuk tau mengambil langkah tepat menyelamatkan kakaknya.

Nanti setelah emosinya berhasil ia kendalikan, dia menekankan ke dirinya harus kembali menemui Hanny.

#TBC

Not Out of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang