Bagaimana mereka bisa sampai disini? Apa saja yang sudah mereka ketahui? Darimana mereka tau tempat ini?
Jun hanya bisa meringkuk diatas kasur nya dengan semua pertanyaan itu di kepalanya, ia mengurung dirinya didalam kamar tanpa berani bertemu siapapun. Sungguh kehadiran keluarganya yang secara mendadak masih membuatnya sangat terkejut, terlebih lagi saat melihat papa nya memukuli Zefa tanpa henti.
Tiba-tiba suara ketukan terdengar pada pintu kamarnya, yang membuat jantung Jun berdetak kencang dan dadanya terasa sesak. Jun benar-benar takut, takut untuk berbicara pada orang tuanya, takut menerima penghakiman.
"Kak"
Jun segera memalingkan tubuhnya dan menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya sembari merutuki dirinya yang lupa mengunci pintu, hingga adiknya bisa masuk ke kamar.
"kak, lo baik-baik aja kan?" Anjeli melangkah mendekati kakaknya dengan perlahan. "rumah lo besar juga ya disini, ada kolam lagi. Kalau mau mandi tinggal lompat" sambung Anjeli karena tidak ada jawaban dari sang kakak.
Jun dapat merasakan kasurnya sedikit bergoyang. Adiknya naik keatas kasur dan ikut berbaring disamping nya.
Sebenarnya semua pertanyaan yang ada pada kepalanya memiliki jawaban yang mengarah pada adiknya. Seseorang yang paling mungkin membocorkan semuaya kepada orangtuanya adalah Anjeli. Mengingat sedari dulu Anjeli selalu membocorkan curhatannya pada orang tua mereka.
Anjeli mendekap tubuh kakaknya dari belakang, kepalanya ia sandarkan pada bahu kakaknya, berusaha memberi kekuatan pada dirinya sendiri. Hal yang sangat ia ingin lakukan saat bersama kakaknya adalah merengek, merengek untuk semua yang terjadi pada hidupnya. Namun ia sadar, saat ini dia tidak bisa begitu. Kakaknya juga memiliki masalah dan ia tidak boleh menambahkan beban kakaknya dengan masalahnya. "gue kangen banget sama lo" bisiknya.
"Anjeli..."
"hmm"
Jun menarik nafasnya perlahan. "kenapa lo bilang ke mama papa soal gue?" tanyanya tanpa menoleh.
"Apa?" Anjeli melepas dekapannya seketika dan merubah posisinya jadi duduk.
Jun membalikkan tubuhnya, menatap adiknya tepat pada kedua matanya. "Gak bisa ya lo nunggu gue yang bilang ke mama?"
Anjeli mendengus tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "bukan nanya kenapa mama dan papa bisa tau dan kenapa gue dan orang tua kita bisa kesini. Lo langsung nuduh gue gitu aja?" ucap Anjeli penuh dengan penekanan. "Gue bahkan gak tau tempat ini! gue gak tau lo dibawa kemana sama dia! Terus LO NUDUH GUE" jerita Anjeli tertahan berusaha mengontorol emosinya.
"Jadi siapa lagi?"
Anjeli kembali mendengus. "Bagas. Lo gak curiga kenapa dia bisa nyampe kesini bareng gue dan mama papa? Apa lo emang lebih percaya sama dia daripada adek lo sendiri?" jawab Anjeli dengan ketus.
Jun mengerutkan dahinya, ia tidak menyadari kalau Bagas ada disana. Dia terlalu syok melihat kedua orangtuanya dan melihat Zefa yang habis dipukul ayahnya. "maaf Anje, gue terlalu terpukul dengan semua yang terjadi..."
"makanya, kalau berbuat dipikirin dulu" potong Anjeli dengan emosi yang sudah tidak bisa ia bendung. "lo berbuat dan dapet hasil yang lo mau, dapet anak, dapet calon suami, dan ada yang ngejar lo juga. Lo mau ngeluh apa hah? lo dapet semua yang enak. Tapi kenapa, lo yang berbuat gue yang harus nanggung akibatnya? kalau gak karena elo gue gak akan kenal dengan Tio, dia gak akan deketin gue, dan gue gak akan jadi pelakor yang macarin suami orang!"
Jun terdiam, melihat adiknya terengah-engah meluapkan isi hatinya dengan suara yang terus meninggi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"arghhh" Anjeli menggerang sangat keras dan beranjak pergi.
Sesaat setelah adiknya pergi, Jun masih pada posisinya memikirkan apa sebenarnya yang adiknya katakan sembari melihat kearah pintu yang kini berdiri sosok wanita paruh baya yang tersenyum kearahnya.
"mama" gumam Jun kaget. Jun segera merubah posisinya menjadi duduk dan ia tersenyum sangat lebar, memasang wajah paling bahagia yang ia miliki.
Wanita itu pun berjalan menghampiri Jun lalu mendekap tubuh anaknya itu dengan sangat erat. "aduh anak mama, udah besar banget ya"
Jun memejamkan matanya, menunggu mamanya melotarkan pertanyaan atau mengucapkan sesuatu sebagai lanjutan. Namun ibunya hanya diam dan mendekapnya lebih erat.
"Mama... sayang banget sama kamu" ucap ibunya dengan suara yang bergetar.
Mamahnya menangis. Jun tidak lagi dapat mempertahankan senyumnya, air matanya mulai membasahi kedua pipinya, dadanya terasa sangat sesak mendengar isakkan sang ibu yang mulai terdengar oleh indra pendengarannya. "Mama, maafin Jun"
Ibunya menggeleng lalu melepas dekapannya, "ini bukan salah kamu sayang, ini salah mama. Kalau saja mama menuruti permintaan kamu saat itu, tidak, kalau saja mama bertahan bersama papa kamu..."
"Enggak ma, ini bukan salah mama. Pikiran Jun yang salah" ucap Jun sembari menunduk tak sanggup menatap raut wajah ibunya.
"Mama harusnya memikirkan dampaknya sebelum memutuskan bercerai"
Jun menggeleng kencang. "ini bukan karena trauma, aku gak punya trauma. Ini bukan karena mama"
Jun diselimuti rasa bersalah yang sangat mendalam, keputusannya benar-benar menyakiti keluarganya. Dia sungguh menyesal mengambil keputusan yang salah ini, tapi dia tidak tau harus melakukan apa untuk memperbaiki semuanya.
"Iya, iya maafkan mamah, mamah gak maksud buat kamu merasa bersalah sayang." Ibunya seakan tau apa yang ia pikirkan. Dengan lembut ibunya menghapus airmata yang menggenang pada kedua pipi Jun. "Jangan menyesali apapun sayang, kamu harus bertahan dan memikirkan jalan apa yang harus kamu lalui kedepannya. Banyak-banyak berdoa dan bersyukur, mamah yakin semua akan indah pada waktunya"
#TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Out of Love
RomanceJun ingin menjadi seorang ibu, dia sangat ingin memiliki seorang anak yang lucu dan mengemaskan yang akan menjadi tujuan dari kehidupanya. Namun pemikiran salah yang selalu ia pikirkan adalah, bagaimana cara memiliki anak tanpa memiliki suami. Jadi...