42

402 44 8
                                    

"Muka lo udah kaya kabel headset tapi tetep aja ganteng ya"

Bagas mendengus. "Lo masih bisa becanda ya, padahal hidup lo lagi acak kadut"

Anjeli tertawa. "Nangis cukup sehari, dua hari...."

Bagas terbahak. "Lo nangis seminggu full ada kali"

"Gue belum selesai ngomong woy, sehari, dua hari, tiga hari, empat harii.." sambung Anjeli.

"Gak selesai-selesai itu namanya" Bagas terbagak lagi.

Anjeli berdiri dari sofa. "Ya udah deh, lo kan udah bisa ketawa, gue balik ke kamar gue ya"

Bagas mencebik. "Ya elah, kita begadang aja yuk"

"Besok kita harus balik, kalau kita masih di sini dan ketauan sama kakak gue, nanti salah paham lagi."

Bagas menggeleng. "Gak akan ketauan lah, hotel ini kan jauh dari rumahnya"

Anjeli terdiam sejenak untuk berfikir. "Tapi gak minum ya?"

Bagas mengangguk. "Kita makan martabak sambil nonton aja. Okay?"

Anjeli memgacungkan jempolnya dan kembali menjatuhkan diri ke sofa.

Bagas pun membuka kotak martabaknya yang tadi dia beli di perjalanan dan meletakanya diatas meja.

Anjeli dan Bagas sedang berada di sebuah hotel. Keduanya memutuskan menginap di sana untuk satu malem. Bagas yang memutuskan kembali ke rumah kakaknya membuat Anjeli terpaksa ikut bersama Bagas, jaga-jaga kalau Bagas ingin lompat dari atas gunung karena frustasi. Anjeli hanya ingin mencegah hal buruk yang terjadi.

"Padahal kita gak sedeket itu untuk begadang bareng" celetuk Anjeli.

Bagas meringis. "Sesama orang patah hati harus saling mendukung"

Anjeli mendengus. "Iye deh iye. Btw gimana tadi?"

"Oh iya" Bagas menepuk dahinya.

"Kenapa kenapa?" Anjeli mencondongkan tubuhnya mendekat.

"Ada cowok lo di lobby"

Dahi Anjeli berkerut. "Tio? Di depan?"

Bagas mengangguk. "Kenapa lo heran gitu? Dia bakal tau lah posisi lo dimana. Dia kan udah biasa mencari info orang"

Anjeli terdiam, tubuhnya menegang kaku. Rasa takut menyelimuti tubuhnya.

Bagas menepuk-nepuk bahu Anjeli lembut. "Jangan takut, lo kan sama gue, tukang pukul propesional"

Anjeli tersenyum kecil. "Makasih"

"Jadi lo mau lanjut nonton atau mau nyamperin dia?"

Anjeli menggeleng. "Biarin aja deh"

Suara bel tiba-tiba berdering.

Bagas mengedikan bahunya. "Tapi dia nyemperin lo tuh?"

#

Tio melangkah mundur dua langkah dari pintu kamar Bagas saat melihat Anjeli tiba-tiba membuka pintu.

"Sayang, kenapa kamu malah ada di kamar ini bukan di sebelah? Kenapa kamu berduaan sama cowok di dalam satu kamar?"

Anjeli mendesah, "Apa lagi Tio?" Tanya Anjeli lesu. Dia sudah lelah menghadapi pria di hadapannya ini.

Tio menggeleng. "Aku cari kamu buat kasih tau kabar baik" Senyum Tio mengembang lebar "Aku mau mengajukan cerai, setelah aku mengajukannya kembalilah pada ku"

Anjeli menggeleng. "Aku gak mau jadi perusak hubungan orang Tio, please mengertilah"

"Enggak Anjeli, Kamu janji gak ninggalin aku. Dan aku menikah dengannya bukan karena Cinta Anjeli, semua karena pekerjaan. Jadi kamu gak merusak apapun"

Dahi Anjeli berkerut. "Maksud kamu apa?"

"Hanny adalah anak dari pak Adijaya. Aku menikah dengannya karena dia cacat, dan perlu seseorang yang menjaganya. Aku hanya bodygardnya yang diberi status suami, gak lebih dari itu"

Anjeli mendengus. "Sekarang kamu mau mengarang cerita? Semua orang tau kalau Zefa anak tunggal"

"Aku gak mengarang cerita, ayah ku seorang dokter keluarga Adijaya. Ibunya Zefa meninggal di bunuh oleh pak Adijaya saat mengandung Hanny, sayangnya Hanny selamat namun cacat.  Tidak ada yang tau cerita ini, bahkan Zefa juga gak tau dia punya adik. Please Anjeli kembali pada ku"

"Tapi kenapa?" Anjeli belum bisa mencerna semua perkataan Tio.

"Karena pak Adijaya gak mau punya anak perempuan" jelas Tio. "Aku berkata jujur, jadi please terima aku lagi"

"Tunggu" Anjeli memegang dadanya, rasanya dadanya sesak dan nafasnya tercekat. "Jadi maksudmu kalau kakak ku mengandung anak perempuan dia bakal bernasip sama dengan..." Anjeli tidak dapat melanjutkan kalimatnya.

Tio mengangguk. "Itu mengapa Jun harus bersama Zefa"

Anjeli jatuh terduduk. Pandangannya kosong kedepan.

Tio berlangkah mendekati Anjeli namun Bagas keluar dari pintu dan menahan tubuhnya.

"Jangan lagi lo mendekati Anjeli, kalau lo masih mau hidup" ancam Bagas dengan wajah datarnya.

"Emang lo siapa ngatur gue?"

Bagas tersenyum. "Mau mati dia ternyata"

Tio mulai melangkah mundur. "Anjeli, jangan bilang kamu sekarang sama dia?"

Bagas tertawa. "Emang kalau Anjeli sekarang sama gue kenapa?"

Tio menggeleng. "Gak mungkin, lo sukanya sama Jun"

Bagas menyeringai. "Lo yang paling tau sebesar apa pesona yang dimiliki Anjeli kan?"

#TBC

Not Out of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang