5 - BOGOR & BOY

4.1K 231 53
                                    


Dari jendela mobil, aku melihat Bogor pagi ini begitu murung. Awan hitam menggantung di atas kemacetan bermeter-meter panjangnya di atas aspal. Ke mana hangat, terang dan seyuman mentari pagi pergi?

Bahkan disaat orang-orang mulai mengeluhkan masalah jalanan yang padat, angin Bogor pun seakan bersembunyi di balik pohon-pohon besar dan bangunan tinggi tanpa mau membagi kesejukannya. Seakan manusia tidak boleh bahagia pagi ini. Padahal aku yakin jika semua orang yang berada di jalan saat ini begitu bergembira ketika mereka berangkat dari rumah. Aku tahu kebanyakan dari orang-orang ini tumpah ke jalan untuk pergi berliburan.

Suara klakson mulai bersahutan satu sama lain. Kadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka yang melakukan hal seperti itu. Sudah tahu macet kenapa masih harus membunyikan klakson? Mau ratusan kali pun suara mobil itu diteriakan gak akan menjadikan mobil-mobil di depannya menghilang seketika. Maka pada akhirnya, nikmati saja jalanan Bogor di hari libur seperti ini.

Seperti aku. Yang hanya duduk manis dan berkali-kali melirik ke jam di tanganku dengan hati yang terus menggerutu kesal. Aku juga tidak bisa menyalahkan Bogor. Ini sudah resiko yang harus diterima karena aku pergi ke daerah ini di saat hari libur. Untung mulutku masih bisa kujaga untuk tidak mengumpat sana-sini. Otak dan hatiku juga sepertinya berhasil bekerjasama agar aku bisa menikmati kemacetan ini.

Di sebelahku, pria tampan yang nampak gagah dengan kemudinya berkali-kali menatap ke arahku. Dari yang awalnya disertai senyuman tulus, kemudian senyuman agar aku mau bersabar, senyuman hambar, hingga senyuman dia pun hilang dan menyisakan tatapan saja. Itu pun semakin lama tatapannya menjadi rasa capek dan kesal saking lamanya terjebak dalam kemacetan. Aku hanya bisa mengusap bahunya sesekali. Aku bisa merasakan membawa kendaraan di dalam kemacetan itu capeknya seperti apa. Tapi dia gak mau jika aku menggantikannya mengambil alih kemudi. Alasannya klise. Agar aku istirahat saja di sampingnya.

Hari ini sesuai apa yang sudah direncanakan, aku dan Boy kembali ke Bogor. Semenjak pulang dari Filipina beberapa hari yang lalu, ia belum menceritakan hasil kepergiannya itu pada keluarganya. Dia milikku sekarang, maka sudah pasti dia akan membawaku ke rumahnya. Meski mustahil jika Boy akan memperkenalkanku sebagai kekasihnya. Aku pun terlalu takut jika harus berpikir hingga ke sana. Jangan sampai kejadian yang aku alami bersama keluargaku dulu terulang di keluarga Boy. Maka aku harus ikhlas dan rela kalau pun Boy memperkenalkan aku sebatas temannya.

Beberapa puluh menit setelah bergerilya dengan kemacetan hari Minggu, aku sampai juga di Bukit Cimanggu City.

TIN TIN!

Boy membunyikan klaksonnya ketika kami sudah sampai di depan rumah. Setelah itu, wanita paruh baya keluar membukakan pintu gerbang. Aku masih ingat namanya, Mbok Asih. Kami pun masuk. Lalu segera turun ketika Boy mematikan mesin mobilnya.

"Assalamualaikum Mbok, ketemu lagi. Masih ingat sama saya?" sapaku langsung ketika turun dari mobil.

"waalaikumussalaam... ya ampun... masih-masih. Gimana bisa lupa, Mas kan satu-satunya teman Den Boy yang diajak ke rumahnya. Siapa sih namanya tuh? Emm..." Mbok Asih begitu ramah menyambutku.

"yeh... katanya inget Mbok.." timpa Boy.

"Putra Mbok" ujarku.

"oh iya, astagfirullah.. maafin si Mbok. Silahkan masuk silahkan Den Putra"

"panggil Putra aja Mbok"

Aku dan Boy pun segera masuk ke dalam rumahnya. Sama seperti dulu, sepi. Rumah sebesar ini dengan anggota keluarga yang sedikit selalu menghasilkan kesunyian di dalamnya. Waktu pertama kali aku ke sini orang tua Boy sedang keluar kota. Sementara adiknya sedang sekolah karena waktu itu bukan weekend. Aku pikir jika di hari Minggu seperti ini, rumahnya akan ramai. Setidaknya aku bisa melihat anggota keluarga lainnya di rumah ini. Tapi sayangnya tidak. Entah ke mana mereka pergi.

LUST for LOVE (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang