Jakarta, awal Juli.Tanpa terasa, sudah tujuh puluh hari aku merajut kasih dengan Boy. Aku merasa menjadi orang paling beruntung karena bisa memilikinya. Boy bagaikan karunia dari Tuhan yang secara khusus dikirimkan untukku. Seperti pagi ini, ia berada di sampingku dengan matanya yang masih terpejam.
Sepulangnya dari Filipina dua bulan yang lalu itu, aku dan Boy memang belum bisa tinggal bersama. Selain karena Boy juga harus mengurus beberapa hal di Bogor, kostan ini juga memiliki peraturan jika tidak boleh ada tamu yang terlalu sering menginap sekalipun itu saudara. Sehingga Boy hari-harinya lebih banyak dihabiskan di Bogor dan menginap di rumah Tantenya kalau dia ke Jakarta sesekali. Tapi setiap Jumat malam hingga Minggu siang atau Senin pagi, dia pasti tidur di kostanku sesuai yang sudah kami sepakati bersama. Baik aku maupun Boy tidak merasa keberatan jika harus bertemu seminggu sekali. Justru dengan begitu, rasa rindu di antara kami bisa terpupuk begitu besar dan terbayarkan disaat bertemu. Sehingga pertemuan di setiap seminggu sekali itu selalu luar biasa.
Mengenai perkuliahannya di Filipina, aku juga sudah beberapa kali mengajaknya diskusi agar Boy menerima kesempatan itu. Bahkan aku sering sekali memberinya semangat dan motivasi mengenai kehidupan cerahnya di masa depan jika ia mengambil kuliahnya itu. Meski masih ada perasaan berat di lubuk hatiku, tapi aku sudah semakin ikhlas jika Boy memang harus pergi. Toh, sejauh apapun dia berada, aku selalu percaya jika hatinya hanya untukku. Apalagi, kepergiannya untuk kebaikan dia. Dan bisa saja menjadi kebaikanku juga di masa depan untuk hidup bersamanya.
Hingga hari ini, Boy masih keras dengan pendiriannya untuk menetap di Indonesia. Dengan berbagai alasan yang ia kemukakan, hanya satu alasan yang selalu terngiang di kepalaku. Betapa ia ingin selalu berada di sampingku. Tinggal bersamaku.
Aku sadar jika alasan itu hanya diucapkan padaku. Tidak mungkin juga Boy mengatakan alasan itu pada keluarganya yang masih belum tahu soal hubungan kami berdua. Tapi setiap kali aku mendengar atau mengingat alasan itu keluar dari bibirnya, aku semakin jatuh cinta padanya.
Hemm... lagi-lagi cinta.
Selalu ada saja yang bisa meruntuhkan keegoisan hingga sikap keras kepala ketika sudah bertemu dengan kata "cinta". Alasan yang dikemukakan Boy itu memang terdengar berlebihan. Tapi sebagai orang yang mencintainya, mendengar kalimat itu seketika membuatku gak bisa berbuat apa-apa. Istilahnya aku "meleleh". Aku bisa memilikinya, seperti dia yang bisa memilikiku.
Sekarang adalah Sabtu, aku belum punya rencana berarti untuk mengisi hari liburku sebenarnya selain ada beberapah hal yang harus aku beli siang nanti. Setelah bangun di subuh tadi dan melaksanakan kewajibanku sebagai muslim, lantas Boy juga bangun dari tidurnya dan langsung meminta "jatah" padaku yang gak sempat aku berikan semalam karena aku terlalu kecapean setelah seharian bekerja. Rasa kangen yang sudah sama-sama ditahan selama hampir satu Minggu itu mau gak mau membuatku dengan senang hati menyetujui permintaannya. Hingga pergulatan pagi di atas ranjang pun terjadi sampai cahaya terang menyelinap di balik gorden kamarku menunjukkan jika subuh sudah merubah dirinya menjadi terang. Tapi bukannya bangun, aku dan Boy malah kembali tidur setelah itu.
Aku masih menatap Boy yang tertidur menyamping menghadap ke arahku. Tubuhnya masih ditutupi selimut sekalipun satu tangannya keluar memperlihatkan lengan berototnya itu. Beberapa hari terakhir ini Jakarta di pagi hari selalu terasa lebih dingin. Tak heran jika aku ingin lebih berlama-lama untuk memanjakan diri dengan tidur di samping Boy. Aku masih ingat ucapannya semalam menjelang tidur. Boy sedang mencari sebuah apartemen yang gak begitu besar di kawasan pusat Jakarta untuk kami tinggali bersama. Dia seperti dengan sengaja melupakan rencana perkuliahannya di Filipina. Yang ada dikepalanya hanyalah apartemen dan apartemen. Padahal kalaupun memang menginginkan untuk bisa tidur dan berada di sampingku setiap pagi, kenapa enggak cari kostan baru yang lebih besar dan bisa tinggal berdua. Sama-sama saja. Tapi ada alasan lain kenapa Boy menginginkan apartemen. Ia merasa dengan tinggal di apartemen seperti benar-benar sudah menjalani sebuah keluarga bersamaku. Tentu bukan hanya sekedar tidur seranjang setiap hari saja, tapi bisa ada aktivitas lain yang bisa dilakukan bersama setiap hari. Membuat sarapan, berangkat bekerja hingga pulang bersama, memasak makan malam bersama, diskusi setiap hari hingga alasan yang membuatku lumayan geli mendengarnya: bisa seharian gak mengenakan apapun disaat libur karena semua kegiatan bisa dilakukan di dalam satu ruangan. Di kostan juga bisa sebenarnya, tapi dikala lapar dan mau makan, mau gak mau harus keluar dan jelas harus memakai baju. Tidak seperti di apartemen yang bisa masak sendiri tanpa harus keluar. Aku hanya tertawa saja mendengar ucapan-ucapan yang dilontarkan Boy itu dengan sesekali mencubiti pipi hingga pinggangnya saking geli sendiri dengan rencana-rencana anehnya itu ketika memiliki apartemen suatu hari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUST for LOVE (2)
Non-Fiction[LOVE or LUST: Season 2] - [COMPLETED] _____________ ✔ FOLLOW terlebih dahulu sebelum membaca karena akan ada beberapa chapter yang di private dan hanya terbaca jika sudah follow. ✔ LUST FOR LOVE adalah buku ke 2 sebagai lanjutan dari cerita LOVE or...