32 - DIORAMA

2.5K 222 62
                                    


"Panggil gua Aerlangga atau Angga" ujarku tanpa menatap matanya.

Aku lebih sibuk menatap jalanan mencari taksi kosong di bilangan Jendral Sudirman dengan separuh bagian tubuhku yang mulai basah terkena hujan. Di sampingku teman dekat sekaligus mantan pacar atau yang sekarang aku lebih suka memanggilnya rekan kerja sedang berdiri. Menempelkan tubuhnya sambil mencengkram erat satu tanganku nampak begitu kedinginan.

Dalam tiga malam terakhir ini Jakarta selalu basah diguyur hujan. Payung menjadi benda yang tak pernah absen dari dalam tas kerja. Ia selalu aku bawa meskipun beberapa temanku selalu saja bilang: "cowok ngapain bawa-bawa payung segala?". Aku gak peduli. Setidaknya benda ini bisa menyelamatkanku disaat-saat seperti ini.

Tapi payung berukuran kecil untuk dipakai dua orang sama saja bohong. Apalagi aku harus bersama seorang perempuan. Gak tega rasanya membiarkan dia terkena cipratan hujan. Sehingga aku lebih rela membiarkan tubuhku basah demi membuatnya tetap kering.

"Haha... Ayo lah...kenapa sih Put? Kita udah bahas ini lebih dari seratus kali. Dalam sehari ini doang. Gue gak biasa lagian harus panggil lo Angga" jawab Putri yang samar-samar suaranya termakan oleh hujan yang semakin deras.

Aku masih sibuk celingukan berharap ada taksi kosong yang lewat. Ada cukup banyak orang di dekat kami yang juga terlihat sedang menunggu taksi.

Sial memang. Dikala seperti ini tranportasi umum jenis mobil selalu dipenuhi penumpang. Bahkan taksi online saja gak ada satu pun yang mau menerima orderanku sedari tadi.

"Tapi kita itu bukan Raja dan Ratu atau Pangeran dan Permaisuri, Put..." Jawabku masih fokus ke jalanan sambil sesekali melambaikan tanganku untuk memberhentikan taksi.

"Karena nama lo Putra dan nama gue Putri, gitu? Oh... Come on... Kita sering membahas ini sejak kita pacaran dulu. Bukankah kita yang sepakat dan senang dengan panggilan ini? Lo dulu dipanggil Angga sewaktu kuliah. Dan mau mengganti menjadi Putra semenjak lo pacaran sama gue." jelas Putri sedikit menaikan suranya untuk menyaingi suara hujan.

"Apa kita harus membahas masa lalu disaat seperti ini?!" Aku setengah berteriak.

"Oke sorry..." Suranya mengecil. Lalu kami saling diam seketika.

"Kayaknya kita harus jalan ke sana deh. Siapa tahu lebih gampang dapat taksinya" aku menunjuk jauh ke arah berlawanan datangnya mobil.

Baru saja aku hendak melangkah, Putri langsung menarik tanganku.
"Putra! Em, maksud gue Angga... Apa gak sebaiknya kita balik ke bar? Hujannya makin deras, kita tunggu sampe reda atau paling enggak hujannya mengecil"

"Gak bisa! Ini udah jam sebelas!" Jawabku kencang.

"Gue kan kost sekarang. Gak masalah gue balik pagi juga!"

"Apa?!" Aku sedikit mendekatkan telingaku.

"Gak masalah gue pulang pagi juga!" Teriak Putri.

"Gak bisa! Ayo!" Aku langsung menariknya dan berjalan menjauhi area cafe tempat kami nongkrong dari sejak tadi.

Hingga tiba di depan sebuah gedung yang lebih sepi kami berhenti. Semoga saja dengan tidak banyak orang seperti tadi akan lebih mudah mendapatkan taksi yang masih kosong.

Kubiarkan Putri berteduh di depan gedung itu, sementara aku lebih mendekatkan diri ke bahu jalan menggunakan payung.

Tiba-tiba saja sebuah telepon masuk ketika aku hendak meninggalkan Putri.
Dari Pras.
Kuurungkan langkahku. Tapi kutolak panggilan telepon itu dengan cepat. Bukan waktu yang tepat rasanya menerima telepon dari dia sekarang.

Dengan segera, aku langsung mengirimkannya sebuah pesan:

"Sorry gue reject Pras. Ada apaan?"

LUST for LOVE (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang