"Sayang... menurut kamu... hujan itu laki-laki atau perempuan?" Tanyaku pada Boy yang sudah mulai memejamkan matanya untuk tidur."Hemm?" Boy hanya bergumam.
Di luar sana hujan sedang turun begitu deras membasahi malam Jakarta. Aku sebenarnya sudah gak peduli dengan yang namanya hujan. Terlepas dari itu anugerah atau bukan, bagiku hujan bukan lagi hal yang aku suka. Padahal dulu, setiap kali turun hujan aku selalu gak sabar ingin lari keluar rumah dan mengguyur tubuhku dengan derasnya air yang jatuh dari langit itu. Tapi sekarang sikapku semakin acuh saja sama keberadaan hujan. Bagaimana tidak, seolah semakin hari hujan datang semakin tidak sopan.
Haha... bukan. Bukan sopan itu yang aku maksud. Hujan tidak perlu izin kok untuk turun ke bumi. Hanya saja, kalau aku berkaca ke beberapa tahun silam tepatnya ketika aku masih kecil, aku bahkan tahu persis kapan musim hujan, kapan musim panas. Tapi lihatlah sekarang, kemarin panas belum tentu hari ini panas juga.
Seperti malam ini, seluruh warga Jakarta tahu jika dalam empat hari ke belakang suhu Jakarta panas sekali. Panas bercampur gerah itu terjadi hingga tadi siang. Sementara sekarang hujan turun begitu deras seolah-olah air ditumpahkan semuanya tanpa mau menyisakan buat hari lain. Kalau saja imun tubuh orang lagi gak bagus, aku yakin pasti orang itu jatuh sakit. Ya beginilah keadaan bumi sekarang, semakin gak beraturan. Ya aku gak bermaksud untuk menyalahkan hujan, toh semuanya terjadi karena ulah manusia juga, bukan?
Tapi ya kira-kira juga kalau mau hujan. Paling tidak turunlah dengan damai tanpa membawa-bawa petir yang saling bersahutan itu sehingga membuat suasana semakin mencekam.Aku sendiri gak terlalu merasakan suasana mengerikan itu sebenarnya, karena di sampingku ada pangeran yang sedang memelukku erat. Ketika di luar hujan dengan derasnya bersahutan satu sama lain bersama petir yang menghasilkan udara yang cukup dingin, aku malah merasakan kehangatan.
Sebentar, aku kadang heran sebenarnya hujan yang turun bukan di musimnya ini benar-benar turun karena waktunya hujan, atau karena faktor lain? Apa hujan itu pertanda bumi sedang menangis? Apa bumi bisa patah hati? Atau jangan-jangan hujan sendiri yang sebenarnya sedang patah hati sampai-sampai air yang dijatuhkan ke Jakarta malam ini begitu banyak? Lantas kalau hujan itu bisa patah hati, apa sebenarnya gender dari sang hujan?
Ah, bisa-bisanya disaat Boy memelukku erat seperti ini pikiran anehku bermunculan. Mau gimana lagi, hujan diluar terlalu deras untuk bisa membuatku tertidur. Kamar ini bisa dengan jelas mendengar setiap gerombolan hujan yang turun. Alhasil, bukannya ngantuk tapi aku malah mikir ke sana-ke mari.
"Boy..." aku sedikit menepuk-nepuk pipinya.
"Hemm?" Lagi-lagi Boy hanya bergumam tanpa mau membuka matanya.
"Jawab dong... menurut kamu hujan itu cowok apa cewek?" Aku kembali bertanya. Lalu kumainkan bulu-bulu halus di dadanya sambil menunggu jawaban dari Boy terlontar.
Bisa-bisanya Boy sudah terlihat sengantuk ini. Padahal waktu baru saja sampai di angka jam 9 malam. Aku tahu jika besok adalah hari Senin dan aku masuk kerja pagi. Oleh karenanya Boy selalu memintaku tidur lebih cepat kalau di Minggu malam. Tapi mata ini aku yakini jika masih on di angka 99.9%. Bagaimana caranya aku bisa tertidur?
"Pertanyaan kamu tuh aneh-aneh aja lagian. Udah ah tidur" Boy mengusap rambutku.
"Belum ngantuk bae..." jawabku seadanya.
Mendengar itu, Boy merubah posisi tidurnya dari terlentang menjadi menyamping menghadap ke arahku.
"Hujan itu hanya air, mana ada air punya jenis kelamin. Kalau kamu berusaha untuk bisa tidur, jangan memikirkan hal yang bikin otakmu bekerja dengan keras. Pertanyaanmu itu gak akan bisa terjawab" Boy memainkan hidungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUST for LOVE (2)
Non-Fiction[LOVE or LUST: Season 2] - [COMPLETED] _____________ ✔ FOLLOW terlebih dahulu sebelum membaca karena akan ada beberapa chapter yang di private dan hanya terbaca jika sudah follow. ✔ LUST FOR LOVE adalah buku ke 2 sebagai lanjutan dari cerita LOVE or...