Not a Fairy Tale

296 29 9
                                    

Hiruk-pikuk pasar yang nampak kumuh itu sudah terasa bahkan sejak subuh tadi. Suara para pedagang bersahut-sahutan seakan tak ingin kalah menawarkan dagangannya. Seorang bocah laki-laki berlari membelah kerumunan orang-orang di pasar. Sesekali tubuhnya yang kurus itu harus tertabrak orang yang berjalan berlawanan dengannya atau yang sedang berdiri menawar barang yang akan mereka beli. Sepatunya juga sedikit basah terkena genangan air yang tercipta setelah hujan deras kemarin malam. Tapi tak ada halangan yang begitu berarti baginya, buktinya ia tak sedikit pun menurunkan kecepatan larinya.

"Mau ke tembok perbatasan, Nak?" tanya seorang pedagang buah sedikit berteriak.

"Iya Paman!" jawab bocah tersebut tanpa berhenti berlari.

Bocah tersebut berhenti di depan tembok bata setinggi satu setengah meter, cukup tinggi bagi anak berusia tujuh tahun. Ia mencari sesuatu yang dapat membantunya untuk melihat yang ada di balik tembok. Kemudian ia menemukan dua kotak kayu bekas pengemas buah. Disusunnya dua kotak tersebut dan bocah itu mulai memanjat.

Di balik tembok tersebut berdiri bangunan-bangunan besar yang didominasi warna putih dan cokelat pucat dengan ukiran-ukiran klasik serta kubah-kubah berwarna senada atau biru terkesan klasik dan mewah. Rumah-rumah yang sedikit jauh jaraknya dari tembok nampak begitu besar juga. Jendela di balkon-balkon rumah terbuka lebar menunjukkan aktifitas penghuni rumah, sarapan ataupun sekedar minum teh. Semua itu tersebut kontras dengan keadaan pasar yang begitu menyedihkan. Keduanya seolah-olah bagai langit dan bumi.

Mata bocah itu tertuju pada jendela kaca besar dari samping bangunan yang paling dekat dengan posisi ia berdiri. Dari balik jendela tersebut ia dapat melihat beberapa anak gadis yang hendak berlatih menari. Mereka sedang memasang sepatu khusus mereka sambil bercengkrama. Tak lama kemudian guru menari mereka datang dan latihan menari pun dimulai.

Si bocah laki-laki tersebut melihat dengan terkagum-kagum. Liukan dan putaran tari mereka begitu indah. Tapi bocah tersebut tidak melihat semua gadis yang ada disana. Hanya kepada satu gadis yang telah membuatnya terpesona. Gadis dengan perawakan mungil dan kulit putih pucat seperti putri salju dalam dongeng. Hanya kepada gadis itu dia memandang.

Pelajaran tari selesai satu jam kemudian dan bocah dari pasar itu masih setia berdiri melihat gadis itu di sana. Bahkan ketika tempat latihan menari sudah sepi tapi ia tak beranjak dari tempatnya. Ya karena saat itu adalah saat yang paling ditunggunya.

"Habu!" teriak gadis kecil dari taman belakang tempat latihan.

Bocah laki-laki yang dipanggil Habu itu tersenyum lebar lalu memanjat turun ke sisi lain tembok. Ketika ia menapakkan kaki ke rumput sesegera mungkin ia merangkak dan merapatkan diri ke tembok bangunan. Ia berjongkok agar tak ada yang mengetahui keberadaannya. Si gadis kecil juga duduk di sebelah Habu.

"Minami apa kabar?" tanya Habu berbasa-basi.

"Aku baik-baik saja. Kalau Habu bagaimana?" tanya gadis itu menimpali dengan antusias.

"Aku juga baik," jawab Habu sambil tersenyum kepada Minami.

"Aku menunggumu hari minggu kemarin, tapi Habu tidak terlihat di balik tembok. Aku juga menunggu di hari Kamis, Habu juga tidak terlihat. Kemana Habu seminggu ini?" tanya Minami.

"Ayahku dan teman-temannya pulang dari perjalanan dagang bersama pemilik toko. Dia membawa barang yang begitu banyak. Jadi aku harus membantu ayah dan ibuku untuk menyusunnya di toko tempat ayah dan ibuku bekerja," jelas Habu.

"Wah, benarkah? Apa saja yang mereka bawa?" tanya Minami penasaran.

"Banyak! Ada kain, ada obat-obatan, ada mainan, ada perhiasan dan juga ..."

Keyakizaka no KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang