Suara berbisik

284 30 6
                                    

Hari hujan itu nampak sama seperti biasanya. Langit mendung, hawa dingin, bau tanah yang menguap atau pun suara air hujan yang menghantam genting rumah-rumah. Tak kalah suara katak di sebelah sungai beradu.

Tapi bagi seseorang yang tak dapat mendengar secuil suara pun hujan masih terasa kosong. Tak ada suara air menetes atau pun katak. Semuanya hanya kosong.

Semua itu tak masalah baginya. Ia sudah terbiasa hidup dalam kehampaan. Bahkan bukan hanya telinganya tapi juga hatinya.

Kobayashi Yui, siswi kelas 2 SMA Putri Keyaki. Ia tidak dapat mendengar sejak kecil membuat dia terabaikan dari dunia sempit ini. Orang tuanya tidak mau mengakui kehadirannya dan teman-temannya menganggapnya tidak ada.

Dirinya sudah lelah untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Memaksa dirinya bertindak di luar kemauannya. Meski begitu orang lain tetap menolaknya. Hanya cacian –yang untungnya tak dapat dia dengar— yang keluar dari mulut mereka. Dia hanya dianggap sampah masyarakat.

Di halte bus Yui berhenti, menunggu bus yang hendak membawanya ke rumah bibinya yang telah ia tinggali selama ini. Tak ada orang selain dia dan seorang lagi. Gadis dengan potongan rambut pendek serta badan yang mungil. Tanpa menghiraukan gadis itu Yui berdiri terdiam menunggu bus.

Sudah setengah jam ia dan gadis itu sama-sama menunggu bus tapi tak satu pun ada yang lewat di situ, mobil pun tak ada. Desa kecil seperti ini memang wajar jika sangat sepi.

Yui memperhatikan gadis itu. Dari gerakan bibir yang ia ketahui, gadis itu tampak kesal dan menggerutu. Yui bisa saja menghiraukan dia tapi dirinya malah bertindak sebaliknya. Di tulisnya sesuatu di note yang selalu ia bawa dan dia berikan pada gadis itu.

Mau pergi kemana?, tulisnya.

Gadis tadi nampak kebingungan dan dengan malu-malu menjawab. “Pulang.” Yui hanya mengangguk paham.

Mereka berdua diam sesaat karena merasa canggung. Mungkin gadis itu mulai menyadari kekurangan Yui. Tapi entah kenapa Yui punya keberanian lebih sekarang. Dia bertanya lagi kepada gadis itu dengan gestur “rumah”.

“Rumahku?” tanya gadis itu memastikan. Yui mengangguk.

“Di seberang sungai, rumah cat biru laut dengan pagar hitam.” Yui membulatkan bibirnya sambil mengangguk. Ia tahu rumah itu karena itu dekat dengan rumahnya dan juga rumah yang paling besar di sekitar situ.

Rumahku juga di dekat situ. Baru saja pindah?, tulis Yui lagi.

Gadis itu tersenyum membacanya lalu mengangguk mantap. “Kita akan jadi tetangga. Aku Imaizumi Yui, salam kenal,” ucapnya dengan ramah lalu mengulurkan tangan pada Yui.

Dengan ragu Yui membalas uluran tangan gadis itu. Yui terkejut, tak ada yang mau berbicara padanya selama ini karena kekurangannya. Hanya bibi dan gurunya saja itupun dengan enggan. Sedangkan gadis ini...

Aku Kobayashi Yui. Rumah ku bercat kuning, sekitar dua rumah dari rumahmu. Salam kenal, tulis Yui. Kemudian ia berikan pada gadis itu.

“Wah kita punya nama belakang yang sama,” tanggap gadis itu dengan antusias. “Kalau begitu agar tak tertukar panggil saja aku Zuumin,” Yui mengangguk.

Yuipon, tulis Yui.

“Baiklah aku akan memanggilmu Yuipon.” Gadis itu tersenyum lebar membuat Yui juga tersenyum.

“Mari pulang bersama,” kata gadis itu ketika bus telah datang.

***

Satu bulan telah berlalu sejak hari hujan itu. Yuipon dan Zuumin makin akrab. Zuumin ternyata bersekolah di SMA Keyaki juga, kelas 2 juga, hanya berbeda kelas saja.

Keyakizaka no KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang