Orange

292 25 45
                                    

Cerita ini mungkin lebih nyambung kalau kalian pernah lihat drama radio di atas.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Aroma sakura menyeruak di setiap kelopak yang gugur. Menggelitik indera penciuman. Langit yang cerah dan suhu udara yang hangat menandakan hari ini tidak akan turun hujan. Tetapi siapa yang tahu.

Perlahan aku menyusuri lagi kota ini. Sebuah kota kecil dengan sejuta kenangan. Dimana aku tumbuh menjadi dewasa. Dimana suka dan duka bergilir bagai musim yang berganti.

Kaki ini melangkah membawaku ke jembatan kayu di samping sebuah taman. Gemericik riak air di bawah dapat terdengar jelas. Aku menutup mata ini. Membiarkan kehangatan yang telah lama hilang membungkus ku lagi bagai pelukan ibu.

“Shida-kun memang paling hebat.”

Sekelebat bayangmu muncul dalam kepalaku. Suaramu itu masih jelas terdengar. Senyuman mu juga masih jelas ku ingat. Semua tentang dirimu tidak mungkin terhapus dari ingatanku.

Hari-hari itu. Ketika bahu kita berdampingan melewati jembatan ini sepulang sekolah.  Ketika langkah tiap langkah kita isi dengan candaan. Ketika kita berdua berbicara tentang mimpi kita. Aku selalu suka saat itu.

“Mana mungkin Shida-kun kesepian. Kan banyak teman di kelas yang dekat dengan Shida-kun. Bagaimana dengan Moriya-chan?”

Rumah hanya tempat menyedihkan bagiku. Karena saat berpisah denganmu aku merasa kesepian. Tetapi hanya tawa dari seberang sana yang dapat ku dengar saat aku bilang padamu aku kesepian.

Saat gelisah pun, kita akan menelepon sepanjang waktu hingga larut. Berbicara panjang lebar tanpa ada yang ingin tidur. Sungguh, hanya keberadaanmu yang dapat aku rasakan.

“Memang tidak salah, permainan piano mu memang paling hebat di lagu ini. Ah tidak! Semua lagu, semua yang dimainkan Shida-kun sangat indah.”

Aku suka ketika dirimu mengatakannya. Bukan karena pujian mu kepadaku, tetapi senyum mu yang selalu menyertainya. Senyum yang cerah bagaikan langit setelah hujan mereda. Aku pernah berjanji untuk melindungi senyuman yang berharga itu.

“Shida-kun berbohong padaku. Katamu kita akan pergi ke universitas yang sama. Kenapa sekarang Shida-kun bilang akan pergi?”

Sekarang dapatkah kita berdua seperti di hari itu, setelah semua yang telah terjadi? Apakah kita masih bisa bertindak seperti anak kecil yang polos yang membicarakan hari esok dengan santainya? Aku telah mengingkari janji ku. Aku membuat mu menangis saat itu.

“Apa kau masih bermain saxophon?”

“Tidak terlalu.”

Jawaban dingin mu di Natal tahun itu menyadarkan ku bahwa kita tidak bisa kembali di hari-hari kita bersama. Aku telah melakukan kesalahan besar sebelumnya. Tetapi entah mengapa pertemuan itu membuat ku lebih tenang. Dirimu tetap dirimu meski semua telah berubah, itu yang membuatku tenang.

Tanpa ku sadari langit telah menjadi jingga. Matahari sudah bersiap kembali ke peraduannya. Aku telah melihat banyak hal yang terjadi di tempat ini. Setelah kembali lagi ke sini apa yang akan ku lihat? Apa hanya kekosongan? Lalu apa yang sedang dirimu lihat saat ini? Aku tidak pernah tahu. Aku hanya berharap dirimu melihat kebahagiaan.

“Manaki, aku mencarimu.” Seseorang memanggil ku dari belakang.

“Ah, maaf Rika aku tidak bilang kepadamu kalau aku ke sini.”

“Tidak masalah. Aku tahu Manaki pasti ingin berkeliling karena rindu tempat ini.”

“Ngomong-ngomong kau tahu tempat ini darimana?” tanya ku heran.

“Mama yang memberitahu ku. Manaki selalu pergi ke jembatan dekat taman ketika pulang, begitu katanya. Apa ada yang spesial disini?”

“Hanya kenangan semasa sekolah saja.”

“Dengan seorang wanita?” tanyanya menyelidik.

Aku tertawa, “Meskipun itu dengan wanita memangnya kau akan cemburu? Kau sudah menjadi milik ku dan aku juga jadi milik mu. Jadi tidak usah khawatir. Dia mungkin juga sudah bahagia sekarang.”

“Ternyata benar dengan wanita ya?” Rika memajukan bibirnya, cemburu mungkin?

“Sudah tidak usah begitu, ayo ku belikan sesuatu untukmu. Mau es krim?” Rika mengangguk.

Aku beranjak dari tempatku sambil menggandeng tangan Rika menuju taman. Disana, mungkin suatu kebetulan, aku melihatnya bersama pasangan hidupnya dan dua orang anak di pangkuan masing-masing. Mereka nampak bahagia. Sangat bahagia.

“Ada apa Manaki?” tanya Rika.

“Tidak, hanya saja disana ada teman SMA ku dulu sebelum aku pergi ke New York. Mau ku kenalkan?” kataku sambil menunjuk ke arah keluarga itu.

“Eum… boleh”

Kami berdua urung membeli es krim. Aku mendekat dan mencoba menyapanya.

“Yui…” sapaku.

“Shida-kun..”

Meski hati ini masih bersisa namamu. Aku akan berusaha sepenuhnya mencintai Rika seperti dirimu yang mencintai keluarga mu.

.
.
.
.
.
.
.

Yang bisa nebak bener anggota keluarga Yuipon disitu siapa aja nanti saya bonusin ff sesuai request \(^o^)

Keyakizaka no KisekiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang