Riuh pantai menenggelamkan semua suara yang ada. Mereka bercampur menjadi satu bak butiran pasir di depanku.
Ku lepas sandal ku dan membiarkan air laut mengguyur basah kaki ku. Aku mengadah menarik nafas dalam dan membiarkan mentari menyapu wajahku dengan cahayanya.
Ya, aku hanya mengenal suara mu saja diantara semua kebisingan ini. Bahkan suaramu yang terlalu pelan sekalipun, aku dapat mendengarkannya.
Kenapa?
Karena aku menyukainya.
Suara mu yang lembut itu terkadang seolah membelai ku. Menarik ku untuk jatuh dalam pelukan mu. Apalagi ketika dirimu mengeluarkan kata-kata yang menghapus semua keresahan ku dan kata-kata yang selalu membela ku ketika orang lain datang mengganggu.
Aku masih dapat mendengar suara itu sekarang. Bergurau dan tertawa, sesekali berteriak kesenangan.
Tapi itu tidak lagi untukku.
Aku kembali memakai alas kaki dan duduk di kursi pantai yang tadi ku duduki. Menyesap air kelapa yang tidak lagi terasa dingin. Sama seperti pemandangan yang ku lihat saat ini. Membuat hawa terasa semakin panas.
Aku tidak ingin melihat saat dirimu bersama yang lain. Karena saat bersama mereka ada tembok yang sedikit demi sedikit terbangun diantara kita.
Tetapi mata ini tidak mau menurut, tetap terpaku dengan keindahan wajahmu. Aku tidak ingin berpaling walau sedetik pun. Tidak peduli dirimu sadar atau tidak bahwa aku memandangi mu. Walaupun sadar, dirimu juga tidak akan membalasnya.
Hei, apakah dirimu ingat terakhir kali kita menonton film yang kita sewa hingga larut malam. Bertiga, dirimu, aku dan Manaka. Kita selalu menyiapkan cemilan yang begitu banyak hingga semut pun juga ikut memakannya. Setelah itu dirimu marah kepada Manaka yang malas membersihkan bagian nya.
Semua itu dan semua kenangan kita apakah dirimu masih mengingatnya?
Pikiranku jadi bertanya-tanya. Apakah dirimu masih mempunyai memori tentang ku atau dirimu sudah sedikit demi sedikit menguburnya. Aku tidak pernah tahu.
Aku ingin menyalahkan kepergian Manaka atas semua ini. Tanpanya aku dan dirimu terasa bukan apa-apa.
Tidak. Tidak seharusnya aku menyalahkan Manaka. Ini bukan salahnya.
Mungkin aku saja yang terlalu pengecut untuk berbicara sendiri pada dirimu. Aku harusnya berterima kasih pada Manaka. Berkatnya aku dapat dekat denganmu.
Aku kembali menghela nafas.
Hal apa yang harus aku lakukan untuk menarik mu agar mendekat. Haruskah aku mengorbankan segala yang ku miliki untuk mendapatkan dirimu lagi disisiku.
Dirimu telah membuatku semakin gila.
Aku menuliskan sesuatu pada kertas putih berukuran sebesar kartu pos. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberikan kepadamu. Meski otak ku mulai berpikir skeptis tentang rencana ku sendiri.
Saat tidak ada siapapun di dekat mu aku mulai melangkah maju. Aku serahkan kertas itu tepat ketika dirimu melihatku.
"302? Nomer kamar mu?" tanya mu saat melihat tulisan pada kertas.
"Datang malam ini atau kau tidak akan melihat ku lagi. Aku akan pergi ke London besok pagi."
Kali ini aku akan bersifat angkuh dan mengaturmu atau kalau tidak dirimu akan menganggap ku sebagai angin lalu.
"Yui, tidak bisa aku harus----"
"Semua terserah padamu. Kalau kau masih ingin hubungan kita berlanjut kau tidak perlu repot-repot mencari alasan untuk menolaknya."
Benar bukan? Dimana ada yang mau menolak ajakan kekasihnya disaat besok pagi kekasihnya akan pergi dalam waktu yang lama. Kecuali, dia sudah tidak memiliki rasa apapun.
Dirimu melihat ku dan kertas ditangan mu bergantian dengan tatapan kebingungan.
"Tidak perlu menjawab sekarang. Waktu hingga malam masih panjang. Lagipula aku tidak butuh jawaban dari mulut. Tinggal datang atau tidak ke kamarku. Aku lebih suka tindakan tanpa bicara. Aku yakin kau juga lebih suka seperti itu."
Kepalamu kini tertunduk. Menatap kertas yang masih ditangan mu. Entah apa yang di pikiranmu. Mungkin terkejut?
"Sekali lagi itu keputusan mu. Sampai jumpa nanti malam, itu pun kalau kau datang," sindir ku.
Aku beranjak dari sana menuju kamar ku. Aku harus merapikan isi koper ku untuk berangkat besok pagi.
Aku memikirkan kemungkinan pembicaraan yang akan berlangsung saat kita berdua nanti bertemu. Entah, mungkin dirimu meminta maaf atau kita malah bertengkar.
Ah, rasanya aku ingin melahapmu bulat-bulat saja.
Aku sudah terlalu merindukan mu.
Aku ingin pelukan mu dan tatapan hangat mu. Aku rindu sentuhan jari mu di seluruh tubuhku. Aku ingin lagi merasakan kecupan berani mu meski di sebelah kita Manaka tengah menggerutu. Aku ingin semua kenikmatan yang kau berikan.
Dapatkah aku mendapatkannya malam ini, Watanabe Risa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Keyakizaka no Kiseki
ФанфикKeyakizaka46's short story - fiction. Original Story by : Yukinao Rin