Clara memandang kosong kearah jendela taxi sepanjang perjalanan pulang dari bandara Soekarno-Hatta menuju rumahnya. Langit sudah mulai senja saat Clara kembali menginjakan kaki di tanah air. Clara merasa ingin memberhentikan waktu atau bahkan memutar ulang waktu saat taxi yang ia tumpangi telah memasuki gerbang komplek rumahnya. Rasanya ia tidak sanggup, ia belum siap untuk menghadapi dan bertemu dengan orang-orang yang akan menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Terutama kedua orang tuanya.Beberapa blok sebelum taxi yang Clara tumpangi sampai ditujuan, Clara melihat sebuah mobil yang terlihat tidak asing baginya. Sebuah mobil SUV bewarna putih yang melintas dari arah berlawanan. Sontak jantung Clara berdetak kencang tak karuan, secara refleks Clara menunduk, berusaha menyembunyikan dirinya agar tidak terlihat oleh si pengendara mobil SUV itu. Setelah mobil itu mulai mejauh, Clara memalingkan wajahnya, ia berusaha mengamati nomor plat mobil itu. Dan benar dugaannya. Mobil itu adalah mobil Ray.
Apa yang dia lakukan? Pasti dia baru saja dari rumahku...
Taxi itu berhenti tepat disebuah rumah dua lantai bergaya minimalis dengan dominasi warna putih, abu-abu dan coklat. Setelah memberikan beberapa lembar uang lima puluh ribuan, Clara turun dari Taxi. Clara memandangi rumahnya sendiri. Belum pernah selama seumur hidupnya ia merasa berat untuk masuk kedalam rumah. Clara menghela napas panjang.
Sampai kapan kamu mau kabur, Clara? Sudah tak ada jalan lain lagi, kamu harus menghadapinya sekarang...
Clara membuka pintu gerbang yang terbuat dari besi bercat hitam dan berjalan masuk menaiki beberapa anak tangga dengan langkah yang berat. Langkahnya kembali terhenti saat ia mencapai pintu masuk. Berbagai hal negatif menghantui perasaannya dan juga pikirannya. Clara butuh mempersiapkan hati dan pikirannya untuk bertemu dengan orang tuanya. Ia butuh mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menjawab dan menjelaskan semua yang terjadi. Semua terasa berat dan menakutkan bagi Clara.
Clara menggerakan tangannya menuju handle pintu, tiba-tiba pintu itu langsung terbuka sebelum Clara membukanya sendiri. Clara terlonjak kaget hingga ia melangkah mundur. Seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam sebahu muncul dari balik pintu.
"Mama..." gumam Clara gugup. Matanya tak kuat untuk menatap kedua mata mamanya.
"Clara!" seru Tante Silvi seolah tak percaya, ia memandangi Clara dari ujung kepala hingga ujung kaki berkali-kali.
"Maaf ma..." Clara seolah tak dapat meneruskan kalimatnya, ia terlalu takut untuk menyaksikan reaksi mamanya. Tante Silvi melangkah mendekat kearah Clara, Clara menyiapkan mentalnya seandainya ia harus menerima pukulan atau tamparan akibat ulahnya.
Namun semua diluar perkiraan Clara, ia kaget saat mamanya langsung memeluknya dengan erat, bahkan mengelus rambutnya dengan lembut. Pelukan hangat yang sangat ia rindukan dan ia butuhkan saat ini, pelukan yang sangat menenangkan. Pelukan yang membangkitkan semua rasa yang ada dibenak Clara hingga matanya terasa basah dan hatinya terasa sakit. Clara mulai terisak.
"Kamu dari mana saja nak? kenapa tidak kasih kabar? mama sama papa khawatir banget." kata Tante Silvi yang masih belum melepaskan pelukannya.
"Maaf ma...Clara bisa jelasin semuanya...." gumam Clara dengan suara parau.
"Ayo masuk, kita cerita di dalam. Papa juga khawatir banget sama kamu."
***
Clara tengah duduk disofa panjang yang berada diruang keluarga. Ia kini berhadapan dengan mama dan papanya yang sangat penasaran dan penuh dengan tanda tanya akan kejadian yang sebenarnya. Clara merasa sedikit lebih tenang saat bertemu dengan kedua orang tuanya dan melihat reaksi mereka yang diluar dugaan. Setelah ia merasa tenang dan siap, Ia mulai menceritakan semua kejadian yang terjadi selama di Jepang, ia berusaha menceritakannya secara detail dan perlahan dari sudut pandangnya.
"Kamu tahu tadi Ray baru dari sini?" tanya papanya dengan nada yang meninggi. Ia sangat emosi dan merasa tidak terima jika anaknya harus mengalami kejadian seperti ini.
Clara mengangguk pelan. "Tadi aku sempat lihat mobilnya keluar komplek." jawab Clara.
"Mama nggak menyangka ternyata Ray seperti itu. Sejak kemarin dia terus nanyain kamu. bolak balik kesini buat mastiin kamu pulang. Bahkan dia bawa pulang koper kamu." kata mamanya yang duduk disebelah Clara.
"Bisa-bisanya dia berlagak sok khawatir sama kamu!"
"Mulai sekarang mama sama papa nggak usah berhubungan lagi sama Ray. Nggak usah telfon atau chat dia lagi. Aku nggak mau berhubungan lagi sama dia. Kalau dia datang kesini usir aja. Aku nggak mau bertemu dia. Aku pengen mengakhiri semuanya" kata Clara.
"Iya, papa setuju. Cowok seperti dia memang nggak pantas dapetin kamu. papa nggak habis pikir bisa-bisanya dia selingkuh! Gila kali si Ray itu! apa sebenarnya motif dia? cuma mau manfaatin kamu doang?!"
"Aku juga nggak tahu pa...Aku merasa bodoh. Udah buang-buang waktu dan perasaan aku dua tahun buat cowok kaya dia..." gumam Clara dengan mata berkaca, seolah ia menyesal telah memberikan perasaannya yang tulus pada Ray.
"Pokoknya pernikahan kalian harus dibatalkan! Papa tidak sudi punya menantu seperti Ray!"
"Sudah-sudah, jangan terlalu emosi. Kita harus menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. Banyak hal yang harus kita urus setelah ini." Kata tante Silvi menenangkan. Clara merasa sangat beruntung memiliki ibu yang bijaksana.
"Pokoknya kamu nggak usah takut, nggak usah pusingin kata orang. Urusan gedung,baju dan lainnya yang udah terlanjur dipesan biar papa sama mama yang urus."
"Iya nak, benar kata papa. Mama juga akan bantu kamu mengurus semuanya. Kamu jangan khawatir ya." kata mamanya Clara sambil mengelus pundak Clara.
"Terima kasih, ma, pa...Clara juga minta maaf udah bikin kalian khawatir."
"Iya, sekarang sudah malam. Ayo kita makan malam dulu." ajak mamanya Clara.
"Aku nggak lapar. Aku lelah ma, pengen istirahat saja..."
***
Setelah selesai berbincang dengan orang tuanya, Clara memutuskan untuk melewatkan makan malamnya dan langsung pergi menuju kamarnya yang berada dilantai dua. Ia membuka kamarnya, rasanya ia sangat merindukan kamar itu, seakan ia sudah meninggalkan kamar itu berbulan-bulan lamanya. Clara bisa melihat dua koper besar bersandar di dinding dekat lemari pakaiannya. Dua koper yang dibawanya saat pergi ke Jepang, koper yang berisi perlengkapan untuk foto prewedding. Ingin rasanya ia membuang koper itu dari hadapannya, namun ia merasa terlalu lelah dan tidak memliki tenaga untuk melakukannya.
Ia melepaskan tas ranselnya dan membuangnya asal ke lantai, membanting tubuhnya keatas tempat tidurnya dan mengambil salah satu guling yang ada di tempat tidur untuk ia peluk. Rasanya nyaman, kamar yang cukup luas dengan kamar mandi dalam, tempat tidur empuk, serta wangi ruangan yang disukainya terasa sangat jauh berbeda dengan hotel kapsul tempat ia menginap beberapa hari belakangan.
Clara merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya. Ia menatap ponsel itu dan baru menyadari bahwa ia mematikan ponselnya sejak dalam pesawat menuju Jakarta. Setelah menukar sim card dengan provider indonesia, ia menyalakan ponselnya. Bunyi dentingan yang menandakan pesan masuk terdengar berbunyi bertubi-tubi membuat telinga dan kepalanya sakit. Hari yang dilalui Clara terasa sangat panjang dan melelahkan, melihat banyaknya pesan yang harus dibaca dan dibalasnya, ia memutuskan untuk mematikan ponselnya lagi dan berencana untuk membalas pesan itu besok. Ia ingin tidur untuk mengembalikan tenaga dan semangatnya, karna Clara tahu esok akan menjadi hari yang lebih panjang dan melelahkan...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Travelgram [completed]
RomanceNathanael Pratama Romano sangat menyukai travelling seorang diri. Menelusuri tempat-tempat baru yang belum pernah dia kunjungi di muka bumi ini. Mengamati kehidupan manusia yang berbeda disetiap tempat dalam sudut pandang yang berbeda, dan mengabadi...