TIGA PULUH LIMA

1.5K 154 4
                                    

"Ayo kita menikah..."

deg...
Jantung Vina seolah berhenti berdetak sesaat mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Nathan. Kalimat yang menjadi sumber kegundahan dan keresahan dirinya selama ini. Kalimat sakral yang sungguh ingin ia dengar, namun Vina sama sekali tidak menduga akan mendengar kalimat itu sekarang, disituasi seperti ini. Ia tidak siap sama sekali.

"Ma-maksud kamu apa?" tanya Vina dengan suara gugup terbata. Matanya menatap kedua mataNathan seperti mencari sebuah jawaban dalam tatapan tajam mata itu, sedangkan tubuhnya masih tidak dapat bergerak karena Nathan mengunci geraknya.

"Haruskah ku ulangi lagi perkataanku?" tanya Nathan dengan suara perlahan tepat di telinga Vina, terdengar begitu mengintimidasi.

"Ayo kita menikah." Ulang Nathan.

"Apa kau sedang bercana?" tanya Vina memastikan. Ia berharap apa yang dikatakan Nathan bukanlah lelucon belaka. Tapi selama mengenal sosok Nathan selama ini, Vina tahu benar Nathan bukanlah orang yang suka bermain dengan kata-katanya sendiri.

"Apakah aku pernah bercanda dengan perkataanku?" tanya Nathan balik, masih dengan tatapan yang sama. Vina sejenak terlarut dalam tatapan mata Nathan yang begitu menghanyutkan hingga ia tidak menyadari pipinya bersemu memerah.

Vina terdiam karena ia sudah tahu jawaban pertanyaan Nathan. Mereka terdiam dengan situasi yang begitu intim. Hal kemudian yang Vina tahu, ia merasakan wajah Nathan semakin mendekat dan jarak mereka semakin menyempit. Hingga Vina bisa merasakan sentuhan bibir Nathan pada bibirnya. Vina kaget dengan perlakuan Nathan yang begitu tiba-tiba, karena Nathan belum pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Seketika itu Vina memejamkan matanya.

Vina memejamkan mata dan menikmati sentuhan bibir Nathan pada bibir mungilnya. Awalnya ciuman itu terasa lembut, namun semakin lama menjadi sebuah ciuman yang penuh dengan ambisi. Refleks Vina mendorong tubuh Nathan, dan Nathan melepaskan ciumannya. Nathan memandang Vina yang wajahnya memerah dengan napas memburu. Gadis itu memegangi bibirnya.

"Kamu kenapa? Kamu tidak biasanya bersikap seperti ini." tanya Vina canggung tanpa bisa menatap wajah pria yang ada dihadapannya itu. Ia masih berusaha mengatur napas dan debaran jantungnya yang terasa menggebu.

"Apa aku membuatmu terkejut? Maafkan aku." tanya Nathan, tangannya menggapai tubuh Vina, berusaha memeluk dan membelai lembut kepala Vina yang nampaknya masih syok dengan perlakuannya.

"Lebih baik aku pulang." kata Vina sambil melepaskan pelukan Nathan dan beranjak keluar dari kamar Nathan.

"Aku antar kamu ke tempat parkir." Nathan menghentikan langkah Vina dengan menarik pergelangan tangannya.

"Tidak, tidak perlu, aku bisa sendiri. Lensa ini kupinjam. Akan segera kukembalikan." 

"Vina, tunggu...." Vina menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap pria itu.

"Aku serius." lanjut Nathan.

"Tengang apa?"tanya Vina sambil mengerutkan dahinya.

"Tentang mengajakmu menikah"

"Kita sepakat untuk tidak terburu-buru akan hal itu bukan? Kalau kamu mengajak ku menikah hanya karena tekanan dari orang tuaku. Lupakan saja. Aku anggap tidak pernah mendengar apapun hari ini. Dengar Nathan, aku tidak ingin kamu berubah menjadi bukan dirimu demi menyenangkan orang lain. Aku menyukai seorang Nathanael Romano yang biasanya. Aku pulang dulu, nanti ku hubungi kamu lagi."  Vina melanjutkan langkahnya meninggalkan Nathan. Mukanya masih memerah dan otaknya masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi dengan perasaan yang bercampur aduk.

Setelah melihat Vina meninggalkan apartemennya, Nathan menghela napas panjang sambil memandang keluar jendela, tatapannya menerawang jauh dengan pikiran melayang. Nathan menepuk kepalanya sendiri berulang kali, Ia ingin mengutuk dirinya sendiri atas apa yang telah ia lakukan pada Vina. Dirinya seolah hilang akal sehat saat itu. Perkataan dan tindakannya seperti diluar kendalinya.

Apa aku akan menyesal? batinya.

***

Seminggu kemudian...

"Hai, maaf aku telat. Hari ini sesi pemotretannya lebih lama dari biasanya. Kamu sudah menunggu lama ya?" sapa Vina sesampainya ia di sebuah cafe tempat ia dan Nathan sepakat untuk bertemu.

"Tidak, aku juga belum lama datang." jawab Nathan sambil tersenyum dan mempersilahkan Vina duduk. Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di apartemen miliknya. Hubungannya dengan Vina semakin membaik. Vina sama sekali tidak pernah menyinggung masalah pernikahan ataupun kejadian di apartemen tempo hari, dan Nathan juga tidak ingin mengungkit kejadian itu. Ia tidak ingin memperkeruh hubungannya dengan Vina yang sudah rumit. Ia sadar kalau dirinya tidak dapat memaksakan apapun dalam hubungan ini.

"Aku sudah memesan grilled salmon dan lychee tea untukmu, apa kamu ingin pesan yang lain?" tanya Nathan sambil mengoper buku menu untuk Vina.

Vina tersenyum kecil, pria itu selalu ingat akan hal-hal favoritnya. Sebuah hal sepele, tapi sangat berkesan bagi Vina. Mungkin sifat Nathan yang seperti itulah yang membuat Vina menyukai Nathan. Karena Nathan selalu memperhatikan dirinya, bahkan sampai hal terdetail sekalipun. 

Nathan dan Vina menikmati makan siang mereka. Sambil menyantap makan siang mereka membicarakan banyak hal mengenai pekerjaan mereka masing-masing, membahas topik-topik menarik, dan tertawa mendengarkan lelucon satu sama lain. Moment langka yang sulit terjadi pada hubungan mereka belakangan ini.

"Sudah lama kita tidak makan siang bersama." ucap Vina disela makan siang mereka.

"Yup, kupikir kita perlu meluangkan waktu lebih sering untuk pergi bersama."

"Rasanya menyenangkan."

"Apanya?"

"Makan siang bersamamu. Menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu biasa kita lakukan. rasanya menyenangkan bagiku" kata Vina dengan mata berbinar sambil mengingat-ingat moment mereka dahulu kala. saat dimana mereka rutin menghabiskan waktu bersama meski mereka berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Kita bisa melakukannya lagi esok hari."

"Oh ya, ini lensa kameramu aku kembalikan. Terima kasih." kata Vina sambil mengembalikan lensa kamera milik Nathan yang ia letakan dalam sebuah paper bag.

"Bukankah kamu masih memerlukannya? Kamu bisa kembalikan lain kali." 

"Tidak apa. Biarkan aku punya alasan untuk bertemu denganmu lagi." jawab Vina yang diiringi senyuman Nathan.

Tiba-tiba suasana menjadi hening, mereka larut dalam pikiran mereka masing-masing. Hanya terdengar musik Jazz yang terputar pada speaker cafe itu. 

"Nathan..." panggil Vina.

"Apa?"

"Soal ucapanmu..." terdapat keraguan dalam diri Vina untuk melanjutkan kalimatnya. Ia berhenti menyantap makanannya dan meletakan alat makannya diatas piring. 

Nathan terdiam. Memandang Vina yang kini memasang wajah serius.

"Setelah aku memikirkannya dan mempertimbangkannya beulang kali..."

Walau Vina belum menyelesaikan kalimatnya namun Nathan tahu arah pembicaraan ini. 

"Aku mau menikah denganmu...." lanjut Vina

"Benarkah?"

"Tapi dengan sebuah syarat."

"Apa?" tanya Nathan menaikkan sebelah alisnya.

"Kamu harus melupakan perempuan itu."

"Maksud kamu?"

"Clara...lupakan dia." Kata Vina.

Nathan terdiam mematung mendengar nama itu. Bibirnya terasa kelu, ia sama sekali tidak mengira akan mendengar nama Clara dari mulut Vina. Mengapa Vina bisa membawa nama Clara dalam situasi ini? Apakah Vina mengetahui apa yang terjadi di Tokyo?

Tokyo Travelgram [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang