"Sepertinya situasi sedang tidak baik. Gue pulang dulu." Kata Andrew sambil menepuk bahu Jane yang masih terdiam ditempatnya seolah turut prihatin dengan kejadian yang terjadi, kemudian Andrew pergi meninggalkan ruangan kaca itu disusul oleh teman-teman lainnya.
"Sorry Jane, gue juga pulang dulu. Semoga loe bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik." ucap Maya yang juga pergi meninggalkan tempat pesta yang kini hanya menyisakan Jane dan Ray.
Jane menoleh kearah Ray dengan mata berkaca. "Kita harus bagaimana sekarang?"
"Nggak ada yang bisa kita lakukan sekarang." jawab Ray dengan wajah kusut.
"Tapi aku nggak mau semua berakhir seperti ini Ray. Aku...aku nggak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini." gumam Jane dengan bahu bergetar seolah belum dapat menerima kalau ia baru saja kehilangan sahabatnya.
"Dengar Jane, Ini konsekuensi yang harus kita terima." kata Ray sambil berjalan mendekat kearah Jane, kemudian memegang kedua bahu Jane dan menatap mata Jane.
"Lalu apa yang harus aku lakukan? Apa kita tidak sebaiknya menyusul Clara?" tanya Jane.
"Untuk apa? Untuk dipermalukan dia lagi didepan umum? Kamu pikir aku senang melihat dia mempermalukan kamu didepan teman-temanmu? Kamu pikir aku suka melihat kamu nangis seperti ini?"
"Tapi Ray...semua yang dikatakannya memang benar. Aku pantas diperlakukan seperti itu."
"Kamu sendiri yang memilih untuk berasama dengan aku,Jane. Sekarang Clara sudah menyingkir, bukankah seharusnya kita senang sudah tidak ada lagi penghalang hubungan kita?" tanya Ray meyakinkan Jane akan kelanjutan hubungan mereka.
"Ray, tapi nggak begini juga caranya. Apa kata orang diluar sana? Aku nggak mau nama kita hancur dimata orang."
"Tunggu sampai situasi lebih stabil, baru kita pikirkan langkah selanjutnya."
***
Clara memarkirkan mobilnya pada carport rumahnya. Ia meninggalkan lokasi pesta Jane sambil menyetir dengan kecepatan penuh seperti orang kesetanan. Clara menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya yang terasa pening pada setir. Setelah ia mengumpulkan tenaga dan menenangkan pikirannya ia turun dari mobilnya dan masuk kedalam rumah.
"Kamu dari mana, nak?" Tanya mamanya saat ia berpapasan ketika berjalan melewati ruang keluarga.
"Habis bertemu Jane dan Ray." jawab Clara seadanya, ia sedang tidak mood untuk menjelaskan panjang lebar.
"Ngapain kamu bertemu mereka?" Tanya mamanya sambil mengerutkan dahi.
"Untuk menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan pada mereka. Ma, sekarang aku capek banget, mau istirahat. Tolong jangan ganggu aku dulu ya..."
"Are you okay?"
"I'm fine,ma...i'll be fine..." kata Clara sambil berusaha menyelipkan senyum pada bibirnya, kemudian berjalan meninggalkan mamanya yang menatapnya dengan tatapan cemas.
Dengan langkah gontai ia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia merasa kakinya lemas dan dadanya sesak. Perasaannya bercampur aduk. Bukankah seharusnya ia merasa lega karena telah bertemu dengan Jane dan Ray, mendengar secara langsung pengakuan mereka dan mengakhiri hubungan dengan mereka. Tapi mengapa ia merasa sangat sedih?
Ia duduk meringkuk disamping tempat tidurnya. Setelah bertahan untuk tegar selama bertemu dengan Jane dan Ray, akhirnya pertahanan diri Clara kini runtuh. Air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Hatinya terlalu sakit untuk bisa ia jelaskan. Memori tentang pertemanannya dengan Jane selama hampir sepuluh tahun serta momen-momen keberaamaannya dengan Ray saling bergantian muncul dalam pikiran dan menguasai perasaannya, ia kecewa, hatinya sakit.
You did a great job...at least for yourself, Clara...hiburnya dalam hati sambil memeluk dirinya sendiri.
***
Olive memberhentikan mobilnya didepan rumah Clara, dari depan pagar ia dapat melihat mobil Clara terparkir di carport menandakan anak itu sudah kembali dan kini berada dirumah. Ia segera turun dari mobilnya dan memencet tombol bell. Tidak lama kemudian Tante Silvi datang untuk membukakan pintu.
"Oh...Hai Olive." Sapanya ramah sambil membuka pintu pagar.
"Hai tante. Clara ada di rumah?"
"Ada, dia baru pulang."
"Aku mau ketemu sebentar."
"Tapi dia bilang jangan diganggu..."
"Sebentar doang kok, tadi aku cuma ketemu dia sebentar, ada sesuatu yang mau aku omongin."
"Kamu ketemu dia? Dia bilang tadi dia ketemu Ray dan Jane?"
"Iya Tante, tadi dia dateng ke acara ultah Jane dan ketemu Ray. Aku sudah tahu masalahnya dan pengen ketemu Clara sebentar."
"Oke. Tapi kalau dia nggak mau diganggu jangan dipaksa ya."
Olive yang sudah hafal seluk beluk rumah Clara berjalan cepat menuju kamar Clara. Ia melihat pintu kamar Clara tidak tertutup rapat, dan berjalan mendekat. Dari celah pintu itu ia bisa mendengar suara tangisan dari dalam kamar, dan dengan segera ia masuk kedalam kamar Clara.
"Clara!" Kata olive saat ia melihat Clara menangis disamping tempat tidur.
Clara terkejut dan memalingkan wajahnya. "Olive..." gumam Clara dengan suara bergetar dan berusaha menghapus air matanya.
Olive tidak berkata apa-apa, ia tidak bertanya apapun walau dalam benaknya muncul pertanyaan yang membuatnya penasaran. Ia ingin mendengar ceritanya secara utuh, apa, kenapa dan bagaimana semua bisa terjadi. Namun saat ia melihat Clara menangis dan terlihat sangat rapuh ia mengurungkan niatnya. Bukan saat yang tepat untuk bertanya, itu hanya akan memperburuk perasaan Clara.
Yang ia lakukan hanya duduk disamping Clara sambil merangkulnya, dan sesekali menepuk-nepuk pundak Clara perlahan. Selama hampir sepuluh tahun mengenal Clara, Olive tak pernah melihatnya menangis dan terpuruk seperti sekarang. Ia bisa merasakan dan memaklumi perasaan Clara. Olive juga merasa kecewa dengan Jane, ia tak menyangka persahabatan mereka hancur karena seorang pria.
Olive yakin Clara bukanlah wanita sempurna, ia hanya manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan dan memiliki banyak kekurangan. Tapi ia tidak menyangka jika Jane memanfaatkan kekurangan itu dan merebut calon suami Clara. Tidak ada yang benar dan salah dalam situasi ini, semua salah. Hanya siapa yang lebih tega terhadap yang lain.
"Liv, sorry...gue nggak bisa mempertahankan persahabatan kita bertiga..." gunam Clara.
"Kenapa loe minta maaf sama gue? Cla, loe nggak harus selalu mikirin orang lain. Loe manusia biasa dan nggak punya kewajiban untuk menyenangkan semua orang. Terkadang loe boleh kok mikirin diri loe sendiri. "
"Liv...gue nggak tau salah gue apa...gue nggak tahu kenapa gue harus mengalami ini. Hati gue hancur...Rasanya terlalu berat untuk gue jalanin..."
"Cla, gue juga nggak tahu dan nggak habis pikir kenapa Jane tega melakukan hal itu sama loe. Gue juga nggak pernah nyangka persahabatan kita hancur karna seorang cowok brengsek kayak Ray. Dan gue juga nggak tahu harus berbuat apa sekarang, tapi yang pasti gue sedih lihat loe nangis. Karena Clara yang gue kenal adalah Clara yang ceria."
"Gue juga berusaha semanpu gue untuk tegar...Tapi itu nggak mudah..."
"Cla, gue mungkin nggak bisa berbuat banyak karena masalah ini menyangkut masalah pribadi loe, tapi gue bisa bantu loe asal loe janji sama gue..."
"...." Clara terdiam, ia hanya menatap mata Olive dalam-dalam.
"Janji sama gue, hari ini hari terakhir loe nangis karena masalah ini. Jangan pernah loe nangisin Ray dan Jane lagi. Mereka nggak pantas mendapatkan air mata loe. Loe harus buktiin ke mereka kalau loe kuat, loe bisa hidup baik tanpa mereka. Buat mereka menyesal udah mempermainkan perasaan loe..."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Travelgram [completed]
RomanceNathanael Pratama Romano sangat menyukai travelling seorang diri. Menelusuri tempat-tempat baru yang belum pernah dia kunjungi di muka bumi ini. Mengamati kehidupan manusia yang berbeda disetiap tempat dalam sudut pandang yang berbeda, dan mengabadi...