Harmoni - 1

4.3K 200 4
                                    

HAPTARi menghembuskan napas lelah. Ia menyeka keringat lantas duduk di pinggiran trotoar seraya meletakkan sapu di samping kirinya.

Dipandangnya orang-orang yang berlalu lalang di depannya dengan mata menerawang. Memikirkan suatu saat nanti ia bisa seperti mereka. Mamakai pakaian rapi, mengendarai kendaraan menuju kantor yang menawarkan pengasilan lebih tinggi dibanding ia yang hanya berprofesi sebagai tukang sapu jalanan.

Kepala wanita berusia tiga puluh empat tahun itu menoleh. Sepasang remaja tengah bergandeng tangan, mengobrol dan sesekali tertawa. Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya. Botol minuman kosong yang ditinggalkan dua sejoli itu membuatnya menghela napas.

Haptari baru selesai membersihkan tempat itu beberapa menit sebelumnya. Peluh yang membanjiri pelipisnya pun belum kering, tapi remaja tanggung itu mana peduli. Padahal jika mereka mau berbaik hati, jarak setengah meter saja ada kotak sampah yang siap diisi.

Haptari beranjak memungut botol itu, meremasnya, lalu membuang ke tempat yang seharusnya. Ia tau aktivitas membersihkan jalanan mamang sudah menjadi tanggung jawabnya. Tapi, tak ada salahnya sesama manusia yang bernapas saling meringankan beban orang lain. Lagipula, buang sampah sembarangan bukanlah tindakan yang terpuji.

Bagaimana Ibukota akan bebas dari sampah, jika kelakuan sebagian warganya masih seperti itu. Haptari geleng-geleng kepala.

Ia kembali ke tempat semula ketika dilihatnya sesuatu yang menggoda. Akan sangat menyegarkan jika panas-panas begini Haptari membeli es teh manis yang dijual di sebrang jalan sana. Ia menelan liurnya berulang kali, namun segera tersadar, kemudian meringis pelan.

Lebih baik tiga lembar uang lima ribuan di tangannya ia gunakan untuk keperluan yang lebih penting. Jika hanya untuk memenuhi dahaga, ia bisa meminum air putih yang ia bawa dari rumah. Tidak perlu membeli, gratis, dan tentu saja sehat.

Sekali lagi Haptari menghela napas. Kehidupannya memang sulit, dan akan lebih buruk jika ia enggan bekerja keras.

****

Seperti biasa yang dilakukan Moziro atau akrab disapa Ziro sepulang sekolah adalah menuju halte dan menjalani pekerjaan sampingan sebagai kenek angkutan umum.

Tidak banyak pilihan bagi orang yang bernasib seperti dirinya selain bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski umurnya masih terbilang muda, tapi Ziro merupakan kakak sekaligus kepala keluarga di rumah. Ia laki-laki satu-satunya yang bertanggungjawab manjaga adik perempuan dan ibunya.

"Baru pulang, Ro?"

"Iya, Bang Jo. Tadi guru di kelas keluarnya agak lama, jadi kesininya juga lambat, maaf ya," katanya sambil mencopot seragam putih abu-abu dan menggantinya dengan pakaian sehari-hari yang sudah ia double dari rumah, lalu memasukkannya ke dalam tas.

Sementara di tempatnya berdiri, Jono, atau akrab dipanggil Bang Jo hanya mengulas senyum tipis. Tak masalah kapanpun Ziro datang. Supir angkot itu membayar Ziro sesuai jam kerjanya. Ia senang memperkerjakan remaja 16 tahun itu. Selain baik, hadirnya Ziro membuatnya mendapat penghasilan berlipat. Wajah Ziro yang boleh dikatakan tampan dan senyumnya yang menawan, menarik banyak penumpang datang.

Ziro yang selesai berganti pakaian dan memakai topi kebelakang, berlari ke samping angkot, mulai berteriak-teriak seperti yang biasa ia lakukan setiap hari. Melambai-lambaikan tangan pada beberapa orang yang dilihatnya sedang menunggu angkutan.

Segerombolan anak SMP yang terdiri dari tiga orang berbisik-bisik sebentar, lalu berduyun-duyun menghampirinya. Salah satu diantara mereka mengeluarkan ponsel pintar, dan menyuruh temannya untuk memotret dirinya bersama Ziro.

"Mau naik angkot, tapi foto sama keneknya yang ganteng dulu, boleh?"

Cowok itu menghela napas saat dirasanya ini akan memakan waktu. Ia menoleh dan mendapat beberapa anggukan dari Bang Jo. Ziro lantas mengangguk, cewek-cewek seumuran adiknya itu tersenyum sumringah.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang