13. Menyatakan Rasa

827 121 6
                                    

Ridho menatap perempuan yang duduk di hadapannya. Sudah beberapa bulan ini ia tidak bertemu, sejak perempuan itu memutuskan resign dari kantornya.

Rani, mantan sekaligus sahabat yang masih ia cintai selama bertahun-tahun, dan kini sudah menjadi milik orang lain. Rani terlihat cantik dengan terusan biru laut yang dipakai. Pipinya tampak lebih bulat, selaras dengan perutnya yang semakin membuncit.

Ya, perempuan itu tengah mengandung anak pertamanya.

"Bahagia banget kayaknya kamu, Ran. Tuh, pipi makin tebel aja."

"Dengan kata lain lo mau nyatain gue gendut, kan?" jawabnya sinis.

Ridho justru tertawa. "Ya, emang kenyataanya, kan. Aku mah gak mau nutup-nutupin."

"Hehe, iya sih. Tapi gak pa-pa, namanya juga bumil. Kalo gue kurus terus, kasian dong anak gue, kejepit tulang."

Tawa Ridho kembali terdengar. Rani tetaplah Rani yang dulu. Perempuan ceplas ceplos yang selalu bicara apa adanya. Namun, justru itu yang membuat Rani selalu menarik di matanya.

Namun, itu dulu. Ya, dulu. Ridho pikir kini hatinya perlahan sudah berpindah. Walau ia tidak yakin sepenuhnya. Seperti sekarang saat melihat senyuman sang mantan, debar-debar itu masih terasa meski kian samar.

"Dasar ngawur. Mana ada bayi kejepit tulang. Makanya kalau pelajaran biologi tu jangan tidur."

Rani terkekeh. "Eh, ngomong-ngomong ginana?" tanyanya sambil menaik-naikkan alis.

Ridho menyedot jus alpukat sambil menyuap makanan ringan yang dipesan saat memutuskan bertemu di kafe milik Rani siang itu. "Gimana apanya?"

"Calon."

"Calon apa? Calon karyawan?"

Rani mendengkus. "Gak usah sok-sok'an bego deh, Do. Lo pasti tau apa yang gue maksud."

Sekarang giliran Ridho yang mendengkus. Tidak di rumah, tidak bertemu mantan, topik itu terus yang dibawa. Memang susah menjadi lelaki yang sudah menginjak kepala tiga dan belum berumah tangga. "Bisa nggak kita gak bahas itu dulu. Mungkin bisa bahas reuni waktu kita masih pacaran."

Rani memutar bola matanya. "Ish, apaan sih. Gak ada yang perlu dibicarain lagi, yang berlalu biarlah berlalu."

"Hehe, aku cuma bercanda, kok."

Namun, Rani justru menatapnya serius. "Ini gue mau tanya serius, gak ada jawaban main-main. Lo udah gak ngarepin gue lagi, kan? Lo sampai sekarang belom nikah bukan karena gue, kan? Lo udah berhasil ngelupain gue kan? Lo ... iya kan, Do?"

Ridho hanya terdiam.

"Do, jawab gue!"

"Iya, udah," jawabnya pelan.

"Udah apa?"

"Iya, udah ngelupain kamu kok," jawabnya lagi, meski hati belum sepenuhnya ingin mengatakan itu. Namun, hey, ini tidak sesakit sebelumnya.

Rani bernapas lega. "Huh, syukurlah kalo gitu."

"Kamu kayaknya takut banget kalo aku masih nyimpen perasaan buat kamu?"

"Bukannya gitu, Do. Tapi gue cuma pengen lo bahagia. Gue sayang sama lo sebagai sahabat."

Ridho tersenyum tipis.

"Berarti sekarang tempat di hati lo udah ada yang ngisi dong." Perempuan itu senyum-senyum lagi.

"Udah kayaknya," jawabnya lirih.

"Kok kayaknya sih? Kepastiannya dong!"

"Iya, udah."

"Siapa-siapa? Cerita dong."

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang