31. Liburan (2)

726 81 2
                                    

"Pasti tekmpatnya bagus buat foto, terus dimasukin IG, jadi ga sabar," ucap Aini di dalam mobil menuju agrowisata Gunung Mas, pucak Cisarua yang akan mereka kunjungi.

Apalagi hamparan hijaunya kebun teh, akan menjadi latar yang bagus untuk bersua foto. Begitu kira-kira yang ada di benak dua cewek itu. Sementara Ziro tidak terlalu perduli dengan foto, lebih memilih menikmati pemandangan, dibandingkan mengabadikanya.

Sesampainya di sana, Ridho memakirkan mobil di tempat yang disediakan, lantas mereka turun seraya mengatur rencana. Setelah dibicarakan mereka sepakat dibagi menjadi dua. Ridho bersama Haptari, dan tentu saja Ziro yang bertugas mengawal dua cewek itu.

"Tapi apa nggak pa-pa, Mas? Aku takutnya mereka nyasar," ucap Haptari khawatir.

Ridho menatap Ziro, cowok itu tersenyum lalu mengangkat tangannya hormat. "Tenang aja, Kapten. Mereka aman sama Ziro. Kita juga jalannya ga jauh-jauh kok. Yang penting hp on, nanti kita tinggal ketemuan lagi di sini."

Tersenyum, Ridho maju mengusap rambut anak tirinya itu. "Tuh, masa Mbak Tar nggak percaya anak laki-lakinya yang udah kayak superhero ini?"

Haptari terkekeh, lalu menghela napas. "Yaudah. Tapi bener ya, Ro. Jagain adekmu sama Sisil."

"Siap 45, Buk!"

Meninggalkan tiga anak itu, Ridho menggandeng tangan Haptari, mengajaknya berkeliling sembari menikmati pemandangan hamparan tanaman teh. Pucak cisarua memang tempat yang pas dikunjungi untuk refreshing. Ia menarik napas sejenak, lalu mengembuskannya perlahan. Setidaknya di sini, mereka dapat menghirup udara baru yang lebih segar, jauh dari asap kendaraan. Jauh dari ingar bingar kota besar. Jauh dari sindiran dan pertikaian. Ia menoleh menatap Haptari, lalaki itu tau sang istri seringkali merasa tertekan ketika berada di rumah bersama orangtuannya.

Haptari tersenyum, lalu menunduk sopan menyapa pekerja wanita paruh baya yang tengah memetik teh di sana. Sedangkan Ridho, menggunakan tangannya yang bebas untuk mengambil ponsel di saku celanannya.

"Mbak,"

"Hm?"

"Foto yuk!"

"Foto?"

Ridho mengangguk. Tanpa menunggu persetujuan, ia merangkul erat pundak Haptari, lalu mengarahkan kamera depan ponsel untuk membidik mereka berdua. Melihat hasilnya, Ridho terkekeh.
"Kenapa, Mas?"

"Mbak Tari ini diajak foto malah ekspresinya kayak mau ditangkap polisi, hahaha."

Bukannya tersingging, Haptari ikut terkekeh. "Aku emang ga pernah foto, Mas."

"Hehe, iya aku tau, kok. Orang yang ga terbiasa foto memang kaku di depan kamera,"

Ridho memundurkan tubuhnya. "Sekarang Mbak Tar di situ aja, biar aku foto."

"Tapi, Mas?"

"Udahlah, sekali-kali buat kenang-kenangan."

Haptari menurut. Ia mengambil pose dengan kedua tangan menyentuh tanaman teh yang setinggi punggungnya itu.

"Senyum!"

Cekrek, cekrek. Beberapa gambar diambil. Ridho kembali tertawa melihat hasinya. Haptari benar-benar kaku. Lrbih baik ia melihat istrinya itu secara langsung dibanding di foto.

"Tuh, kan, pasti jelek lagi hasilnya?"

"Hehe, Cantik kok," Ridho mengantongi ponselnya, lalu kembali menggandeng tangan Haptari. "Yuk, lanjut. Lebih banyak momen yang harus dilakukan dari sekedar berfoto."

Haptari mengangguk. Ridho jadi ingat plan yang akan dilakukannya ketika berada di sini. Mereka kembali berjalan, Ridho mengajaknya mendatangi jasa penyewaan kuda, untuk tour mereka.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang