20. Merasa Bersalah

681 82 3
                                    

Sambil memakai kaus kaki selesai sholat duhur, Haptari memperhatikan Ridho yang baru keluar dari moshola itu juga. Ketika Ridho menoleh, Haptari memalingkan wajah seolah tidak melihat.

Beberapa hari ini setelah malam itu, Haptari sudah tidak pernah lagi melihat senyum Ridho untuknya. Saat menatap pun raut wajahnya datar. Tidak pernah lagi menyapa, bahkan melihatnya pun enggan. Tidak seperti Ridho yang biasanya hangat penuh perhatian. Bagi Haptari itu wajar, mengingat penolakan yang ia lakukan pasti sangat menyakiti hati laki-laki itu.

Seharusnya jika punya harga diri, Haptari sudah keluar dari kantor ini. Namun, seperti yang pernah dikatakanya, ia memang tidak punya harga diri. Penuh harga diri tidak akan dapat memberinya makan. Ia sudah tidak peduli dengan semua itu. Bahkan, perasaanya pun dapat dibeli dengan makanan di restoran saat itu.

Mingkin harga diri hanya milik orang-orang kaya. Apalah ia yang hanya orang dengan ekonomi di bawah rata-rata. Siapa ia, memangnya cinderella berhak mendapatkan pangeran. Haptari menertawai dirinya sendiri, ia rasa itu hanya ada di dongeng Disney.

Wanita itu menunduk tidak jadi beranjak ketika Ridho melintas di depannya. Seperti hari-hari lalu, laki-laki itu berlalu berlalu begitu saja. Haptari memandang punggung yang semakin bergerak cepat menjauh.

Satu

Dua

Tiga

Sudah lah, Tar, ini bukan sinetron TV, dasar bodoh! Haptari memaki-maki diri. Tiba-tiba matanya terasa panas.

Dasar cengeng!

***

Dari sudut sofa ruang TV, Ermi memandangi Ridho yang tampak tak bersemangat setelah pulang kerja.

Lelah. Hal tersebut biasa dirasakan orang setelah bergelut dengan pekerjaannya. Namun, Ermi rasa bukan hanya itu faktor yang menyebabkan anak laki-lakinya tampak murung. Ada kelelahan lain ... dalam hatinya.

Hati Ermi seolah tercubit. Sebagai seorang ibu, ia sadar betul apa yang dilakukan telah mengikis kebahagiaan anaknya. Namun, sebenarnya ia hanya tidak mau Ridho menyesal di kemudian hari. Menikahi janda yang sudah mempunyai dua anak remaja bukan perkara mudah.

Namun, sejak kejadian malam di mana Haptari menolak lamaran Ridho atas perintah darinya, Ermi kerap merasa semangat hidup Ridho berkurang drastis.

Ridho memang tetap anak yang bertanggungjawab dengan tidak menelantarkan pekerjaan. Namun, hari-harinya yang hanya dihabiskan dengan bekerja, bekerja, dan bekerja, malah membuat Ermi pedih saat melihatnya.

Biasanya, dulu Ridho sering menyempatkan quality time bersama keluarga sesibuk apapun dia. Namun, akhir-akhir ini Ridho seperti tidak memikirkan dirinya sendiri. Makan saja hampir lupa jika tidak dipaksa.

Ermi merasa menjadi ibu paling egois. Ia mengancurkan kepercayaan anak yang selama ini mati-matian berjuang untuk keluarga. Namun, demi apapun ia hanya ingin yang terbaik untuk Ridho.

"Mama kenapa?"

Ermi menoleh, menatap anak gadisnya yang duduk bersama toples cemilan di tangan. Esok anak itu sudah bisa kembali sekolah setelah sebelumnya tiga hari melibur.

Awalnya ia marah, karena setahunya sebandel-bandelnya, Sisil belum pernah membuat kesalahan apalagi sampai diskorsing. Namun, setelah dijelaskan Ermi mengerti. Ia percaya pada anaknya. Karena baik Ridho mampun Sisil selalu jujur padanya.

Ermi mengusap matanya. "Kamu tengok gih Kakakmu."

"Memang kenapa?"

"Udah tengok aja."

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang