Selepas peryataan cinta sore itu, Haptari terus memikirkannya sampai sekarang. Sudah tiga hari ia belum memberi jawaban. Hampir setiap malam ia tidak bisa tidur. Seperti saat ini, jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi ia belum juga memejamkan mata.
Haptari memiringkan tubuh, seketika pandangan tertuju ke kedua anaknya yang tidur di atas ranjang. Sesekali mereka menepuk wajah yang dinggapi hewan kecil penghisap darah itu.
Wanita itu beranjak, menyibak selimut yang dipakai, lalu menyelimutkan ke Ziro saat dilihat Aini seperti enggan berbagi selimut dengan abangnya.
Setiap malam mereka seperti ini. Tidur berhimpitan di satu ruangan yang sama. Biasanya Ziro yang mengalah tidur di bawah dengan kasur lantai. Namun, karena baru keluar dari rumah sakit, Haptari tidak tega, ia memaksa bertukar posisi membiarkan Ziro tidur di atas.
Haptari kembali berbaring, matanya menatap kosong, kembali memikirkan tawaran Ridho beberapa hari lalu. Jika mengingat keadaan, seharusnya ia tidak punya alasan untuk menolak. Mungkin itu salah satu cara Tuhan untuk mengangkat derajat hidupnya.
Haptari menatap kedua anaknya lagi. Seharusnya mereka mendapat tempat yang layak untuk sekedar tidur. Tidak bercampur seperti ini. Dua anak itu juga sudah mulai bertumbuh dewasa. Dan ia belum mampu memberikan apa-apa.
Bolehkan ia menjadi wanita matrei untuk kali ini saja? Setelah semua kehidupan yang ia jalani, bukanlah ia juga berhak bahagia. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga anak-anaknya, demi kelangsungan hidup mereka.
Bolehkan ia egois untuk kali ini saja? Untuk menebus kebahagiaan anak-anaknya, Haptari bahkan rela melakukan apa saja, termasuk menikan dengan atasannya itu. Namun, sekali lagi ia masih bimbang. Apa Ridho benar-benar serius? Mengapa harus ia wanita yang dipilih?
Haptari beranjak keluar dari kamar, pergi mengambil wudhu. Ia perlu berdiskusi dengan Sang Pemilik Hidup.
****
Setelah hampir satu bulan Ziro tidak masuk sekolah, hari ini ia sudah bisa masuk kembali. Berada di dalam rumah terus-menerus sangat membosankan. Biasanya sehari-harinya digunakan untuk sekolah dan bekerja, dan selama sakit ia hanya berleha-leha. Ziro berharap Bang Jo masih mau memperkerjakannya.
"Kamu yakin, Ro. Udah bener-bener kuat buat pergi sekolah?" tanya Haptari sambil memperhatikan Ziro yang tengah memasang dasi.
"Iya, Buk, udah sehat banget kok ini. Lagipula aku bosen ah di rumah terus. Nanti bukannya sembuh, aku malah kena penyakit males."
Haptari terkekeh, menepuk pundak Ziro sekali, lalu keluar dari kamar. Baru mau melangka ke dapur, ia mendengar suara deru mesin mobil di halaman rumah.
Ia pun ke depan untuk memeriksa. Saat membuka pintu, ia menyerengit menatap mobil kuning yang berhenti di halamannya.
Setelah diperhatikan, seorang cewek berseragam SMA keluar. Cewek itu tersenyum menyapa sambil berjalan ke arahnya.
"Sil, kamu pagi-pagi udah ke sini. Ada keperluan mendadak?"
"Hehe, nggak kok, Tante. Sisil mau jemput Ziro."
"Jemput Ziro?"
"Iya. Sisil pikir Ziro kan baru sembuh, jadi Sisil ajak bareng sekalian daripada capek-capek naik angkot."
"Tapi kan ini ngerepotin kamu, Sil. Bukannya kamu balik arah kalo mau ke sini dulu?"
"Nggak pa-pa kok, Tante, sekali-kali."
Tidak lama setelah itu, Ziro keluar. Ia agak terkejut mengetahui Sisil sudah berada di kontrakannya.
"Lho, Sil. Kamu kok ada di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...