Semenjak punya handphone, Ziro perhatikan Aini semakin malas belajar. Tidak jarang Ziro memergoki Aini yang katanya pamit mengerjakan PR, ternyata hanya bermain-main dengan handphonenya. Senyum-senyum tidak jelas, entah apa yang sedang dilihatnya.
Gara-gara ponsel itu juga, pengeluaran semakin banyak. Baru seminggu lalu Ziro membelikan paket internet, hari ini Aini merengek meminta lagi. Alhasil, Ziro pun menuruti meski mengorbankan uang jajannya selama dua hari.
"Kamu itu sebenernya gunain HP itu buat apa sih, Ai? Perasaan boros banget pake internet?" Ziro pun akhirnya bertanya.
"Hmm, Abang kan tau kalo jaman sekarang tu apa-apa pake internet. Aini gunain HP buat nyari pelajaran lah," jawab Aini.
Mata Ziro memicing. "Beneran? Coba Abang liat."
Aini menarik ponsenya ke belakang saat Ziro berusaha meraihnya. "Ish, kok Abang kepo sih."
"Ya apa salahnya? Lagipula dari baru sampai sekarang, Abang belum pernah megang."
Aini berdecak. "Bilang aja Abang pengen. Makanya beli sendiri."
"Ooo, kalo gitu Abang gak mau beliin paket internet lagi," ancam Ziro.
"Ihh, Aini kan masih kecil. Mana bisa cari uang sendiri. Apa gunanya ada Abang kalo gak mau nyariin duit buat adeknya. Mending-mending kalo Aini punya ayah."
Ziro terteguh mendengar kalimat terakhir Aini. Ia hanya memandang dalam diam. Sungguh, kalimat itu singkat, tapi sangat menohok hatinya.
Ia menoleh ke arah pintu kamar. Berharap ibunya yang sedang sholat isya belum selesai dan tidak mendengar percakapan mereka.
Tiba-tiba suara panggilan masuk membuatnya menoleh. Terlihat sekilas di layar ponsel tertera nama Ino.
"Siapa Ino?" tanya Ziro menyelidik.
"Temen Aini, Bang," jawab Aini cuek, kemudian berlalu sambil mengangkat panggilan itu.
Tak tinggal diam, ia pun mengikuti Aini. Mencuri dengar apa yang dibicarakan, sampai adiknya itu harus keluar ke teras depan.
Ziro tidak terlalu mendengar, karena jarak yang jauh ditambah cara bicara Aini yang agak berbisik. Namun, samar-samar ia mendengar Aini memanggil 'Sayang' Ziro pun melotot.
Aini yang melihat Ziro melangkah ke arahnya, segera mematikan panggilan itu.
*****
Kini hari-hari Haptari terasa tidak tenang. Adanya hutang besar membuatnya semakin canggung bertemu Ridho.
Seperti biasa saat pagi hari ketika Haptari sedang membersihkan lobby, Ridho lewat dan ia menyapanya. Ridho tersenyum dan mengaggukkan kepala.
Bosnya itu sangat ramah. Tak jarang Ridho berhenti sebentar hanya untuk menanyakan kabarnya dan keluarga. Haptari sangat segan. Ia tak pernah lagi beralasan saat Ridho menyuruh menghantar kopi ke ruangannya.
Sebenarnya beberapa kali Haptari hendak mecicil utangnya. Namun, Ridho selalu menolak dan beralasan banyak hal, salah satunya menyuruh Haptari menggunakan uang itu untuk keperluan sehari-harinya dulu.
Alhasil uang itu sekarang sudah hampir habis dan Haptari tidak yakin lagi dapat mencicilnya dalam waktu dekat. Mungkin butuh tiga atau empat kali gaji kerja baru ia dapat melunasinya. Entahlah, ia pusing memikirkannya. Ridho memang tidak pernah membahas, tapi Haptari masih cukup sadar diri untuk tidak pura-pura lupa.
"Cie Mbak Tari sama Pak Ridho. Kayaknya udah lengket banget."
Haptari yang sedang memakan bekal makan siangnya, menoleh menatap Ani. Perempuan lebih muda dan merupakan teman seprofesinya itu, duduk lesehan di sampingnya sambil membuka nasi bungkus yang dibawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...