11. Kabur

750 114 15
                                    

Belakangan Haptari jadi uring-uringan. Percakapan terakhir saat Ridho menghantarnya pulang membuat jarak mereka semakin terbentang. Terlebih saat dipikir-pikir sikapnya malam itu lumayan keterlaluan. Atau mungkin malah sangat keterlaluan sehingga beberapa hari ini sikap Ridho padanya agak berubah.

Tidak sepenuhnya berubah, tapi sejak itu Haptari jarang melihat Ridho. Saat berpapasan pun Ridho tidak tersenyum dan tidak pernah lagi memintanya mengahantarkan kopi ke ruangan bosnya itu.

Haptari jadi kepikiran terus. Ia merasa sangat bersalah karena melukai perasaan orang yang berniat baik padanya. Ia juga tipe orang yang tidak bisa membiarkan kesalahpahaman berlarut lebih dari tiga hari. Ia percaya itu hanya mananak dosa.

Mungkin sebaiknya ia meminta maaf. Toh, ia juga yang salah dalam hal ini. Meskipun ia tidak bermaksud menyakiti siapapun, tapi lidah lebih tajam dari pedang. Salah berkata sedikit saja bisa sangat mengenai hati seseorang.

Maka dari itu, selesai sholat ashar di mushola sekitar kantor, Haptari berjalan cepat menyusul Ridho yang baru melewati undakan, menuju pintu masuk kantor.

"Pak," panggilnya setelah dirasa jarak mereka lumayan dekat.

Ridho yang sudah mendorong pintu, menoleh mendengar panggilan itu. Ia mengamati Haptari yang ngos-ngosan mengatur napas.

Haptari mengepalkan jemarinya, mengupulkan keberanian. Ia melangkah lebih dekat sebelum berkata, "Maaf, Pak, sebelumnya. Boleh saya bicara sebentar saja?"

Ridho menyerengit, tapi tak lama ia mengagguk. Mereka menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ridho diam, membiarkan Haptari memulai pembicaraan.

Hingga beberapa menit berlalu, Haptari belum buka suara. Ridho pun bertanya, "Jadi apa yang mau dibicarakan ya, Mbak?"

Wanita itu memilin ujung bajunya, gugup. Sejenak ia mengamati wajah bosnya itu. Ridho nampak tenang. Gurat kekesalan juga tidak terlihat di sana. Bahkan, tatapannya pun masih teduh seperti biasa.

Hanya saja itu yang semakin membuat Haptari kesulitan berkata-kata. Ia malu. Entah apa yang merasukinya malam itu sehingga ia seolah berperan seperti tokoh antagonis dalam cerita.

"Mbak, jangan terlalu lama bengongnya. Saya juga masih ada perkerjaan yang belum selesai."

"Eh," Haptari menggaruk kepalanya, tertawa kering. "Eum ... saya cuma mau minta maaf," ujarnya menunduk, tak berani beradu mata.

"Minta maaf?"

"Iya. Maaf atas sikap saya malam itu. Saya pikir saya keterlaluan. Seharusnya saya nggak bicara kayak gitu sama Bapak. Saya benar-benar minta maaf." Haptari masih menunduk.

"Mbak."

"Iya?"

"Lihat saya."

Belum Haptari lakukan.

"Mbak."

Haptari menggigit bibir bagian bawahnya.

"Mbak, lihat saya!" ulangnya dengan sedikit penekanan.

Perlahan Haptari mengangkat wajah. Samar-samar ia melihat Ridho tersenyum. Senyum yang tidak ia temui beberapa hari ini.

"Udah saya maafkan."

Semudah itu? Haptari tidak habis pikir. Harusnya Ridho membentak atau setidaknya sedikit memarahinya.

"Beneran, Pak?"

Ridho mengagguk, Haptari tersenyum lega.

"Saya pikir Bapak benar-benar marah sama saya," ujar Haptari pelan, tapi Ridho masih bisa mendengarnya.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang