Ziro memerhatikan Sisil dari kejauhan. Beberapa waktu belakangan ini mereka seperti jauh sekali. Sisil sudah jarang sekali ke kelasnya. Kalau tidak sengaja berpapasan seperti orang asing. Jika bukan Ziro yang menyapa, Sisil tidak akan menegurnya. Dan segala upaya yang ia lakukan untuk membuat Kiya dan Sisil berteman selalu gagal. Sisil tetap pada pendiriannya tidak mau berurusan dengan Kiya.
Sekarang Ziro seperti simalakama, apapun ia lakukan tampak tidak benar. Terlalu dekat dengan Kiya hanya membuat Sisil terluka. Tetapi, menjauhi Kiya pun tidak mungkin. Andai Sisil mau sedikit saja menurunkan egonya, semua tidak akan serumit ini.
Sekarang ia hanya bisa memperhatikan cewek itu dari jauh. Sejujurnya ia kangen dengan Sisil. Bagaimanapun dulu mereka dua orang tidak pernah terpisahkan. Dan sekarang Ziro merasa Sisil lebih pemurung. Saat ia tanyakan pada Dito yang masih sekelas dengan Sisil, temannya itu pun menjawab jika Sisil terkadang berangkat sekolah dengan mata bengkak, seperti malamnya habis menangis.
Apa ini cuma soal masalah dengan dirinya, ataukah ada masalah lain yang sedang membelenggu cewek itu. Auranya tampak berbeda. Dulu saja saat ia terlihat gelisah, Sisil selalu mengarahkan telinga untuk mendengar ceritanya. Dan sekarang ia harus melakukan hal yang sama. Jangan sampai Sisil merasa sendirian dalam menghadapi masalahnya.
Maka, saat sepulang sekolah Ziro memaksa Sisil untuk ikut dengannya. Ia juga meminta izin pada supir yang menjemput Sisil. Ziro pun mengajak Sisil ke warung nasi remes. Setidaknya mereka harus makan dulu.
"Sok - sok mau traktir aku. Memangnya ada uang?"
Ziro tersenyum. "Aku akhir-akhir ini iseng nulis, dan ngirim tulisan di media massa. Siapa sangka ada yang khilaf memuat cerpenku."
"Iseng? Bukannya dari dulu kamu memang suka nulis. Itu cerpen yang kamu tulus di buku sampai penuh, kalau bukan tulisan kamu emang tulisan siapa?"
"Hehe, sebenarnya aku udah kirim dari beberapa bulan lalu dan Alhamdulillah ada yang lolos satu."
Sejak diberi fasilitas handphone android oleh Ridho, Ziro memang menanfaatkannya dengan baik. Ia mengisinya dengan tulisan, baik cerpen maupun artikel yang dulu hanya bisa ia oret-oret di buku. Selain itu ia juga sedang berusaha mengembangkan blog-nya.
"Dulu kamu sering traktir aku, jadi enggak ada salahnya sekarang aku gantian lakuin itu."
"Dulu yaa." Sisil tersenyum tipis. Ziro hanya terdiam, lalu menarik cewek itu masuk. Mereka memesan nasi remes, tempe mendoan, dan minum es teh. Meski sederhana tetapi jika bersama Ziro, Sisil sungguh menyukainya.
"Kamu enggak akan sakit perut,kan cuma aku ajak makan di pinggir jalan," tanya Ziro. Ia merasa bersalah, dan baru teringat jika Sisil harus benar-benar menyeleksi makanan yang masuk ke perutnya.
"Enggak, kok. Lagipula budenya juga masaknya bersih, tempatnya juga bersih, jadi apa yang harus ditakutkan?"
Ziro tersenyum tipis.
**
"Kamu tadi katanya mau tanya sesuatu?"
"Ehm, kamu kenapa menjauh dari aku?" tanya Ziro, Sisil terdiam sembari menyisipkan rambut di belakang telinga. Ia mengalihkan tatapan dari cowok itu sembari menggigit bibirnya.
"Sil," Ziro menyentuh lengannya. Saat ini mereka duduk di bangku bawah pohon mangga depan kontrakan, karena Ziro mengajaknya mampir ke sini.
"Aku enggak menjauh, aku cuma bersikap biasa."
"Waktu yang kita lalui itu udah cukup buat aku kenal kamu. Jadi, aku tau mana sikap biasa dan enggak biasa."
"Oh."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...