37. Lelah

829 77 7
                                    

Pulang dari kantor, Bani langsung menghempaskan tubuh di sofa tanpa mengganti bajunya yang berpeluh. Badannya terasa capek sekali. Ternyata setelah sekian lama vakum, kembali ke tugas kantor bukan sesuatu yang mudah. Satu bulan baru genap satu Minggu, dan ia sudah ingin menyerah.

"Maaa!"

Tergopoh-gopoh Ermi mengampiri setelah mendengar suaminya memanggil.

"Kenapa sih, Pa. Teriak-teriak, Mama masih cuci piring di dapur. Bibi belum pulang cuti."

"Kalau udah selesai suruh cepat ke sini lah, bikin repot aja!"

"Iya, Pa. Jangan marah-marah dong. Bibi mungkin belum pulang karena memang belum kelar. Sabar aja."

"Yaudahlah terserah!" Bani mengibaskan tangan. "Udah, sekarang pijitin aku!"

"Kalem, Pa ngomongnya, ya Allah." Ermi menggelengkan kepala lalu duduk di belakang Bani, sembari memijit suaminya.

"Capek ya, Pa?"

"Hm."

Semenjak kembali ke kantor, Bani memang jadi lebih pemarah. Bahkan, dapat meledak jika pusing karena urusan kantor. Orang rumah kena sasaran. Terutama Sisil yang kadang manjanya enggak karuan.

"Makanya kalau enggak mau pusing, kebalikan jabatan Ridho."

"Kamu ini apa-apaan? Enggak usah mancing lah capek-capek gini."

"Mancing apa sih, aku cuma enggak tega sama Ridho."

"Apa yang harus enggak ditegakan, itu keinginan dia sendiri."

Ermi mendesah. "Papa harus tau kalau sekarang Ridho itu kerja sebagai ojol. Mama enggak bayangin gimana capeknya dia, belum lagi di jalanan itu pasti bahaya. Ayolah, buka sedikit mata hati Papa."

"Mata hati apa sih? Dia itu bukan anak kecil, biarkan dia bertanggungjawab untuk apa yang memang harus dipertanggungjawabkan!"

Merasa kesal, Ermi pun melepaskan tangannya dari bahu Bani, lalu memundurkan badan. Bani membalik badan, Ermi menatap tajam.

"Papa itu memang enggak sayang sama Ridho. Egois, cuma memikirkan diri Papa sendiri."

"Papa bahkan memikirkan dia lebih dari yang mama kira!"

"Memikirkan apa? Memikirkan bagaimana cara memisahkan Haptari dengan Ridho?" Ermi memejamkan mata sembari memegang kepalanya. "Pa, Papa itu harusnya sadar kalau sekuat apa kita memisahkan, takdir itu memang udah berpihak ke mereka. Dan yang harus Papa ingat, Tari itu udah mengandung anak Ridho. CUCU KITA!"

"Cucu?" Bani memicingkan senyum. "Papa enggak pernah berharap diberi cucu oleh wanita itu."

"Ya Allah!" Ermi ingin sekali mencakar Bani. Pria itu benar-benar kaku, sulit sekali diubah pendiriannya. Ermi sangat benci sikap Bani yang ini.

Ia menarik napas. Mencoba untuk tidak ikut terpancing. "Kalau begitu keputusan papa, aku minta papa kembalikan ATM dan rekening tabungan Ridho."

"APA?!"

"Asal papa tau, papa itu enggak berhak menahan itu, karena semua itu milik Ridho. Didapat dari kerja kerasnya sendiri!"

"Kerja keras di kantor papa, kan?"

"Mau kerja keras di kolong jembatan sekalipun, itu tetap hak Ridho. Anggap saja Ridho ini karyawan yang kerja di perusahaan papa, jadi apa papa berhak menahan gaji karyawan papa? Itu namanya perampasan!"

"Kamu benari sekali menyebut papa perampas!" Bani menunjuk istrinya, Ermi sudah tidak perduli. Melihat keadaan Ridho kemarin benar-benar membuatnya prihatin. Ridho tampak lebih kurus. Mungkin karena tidak mengkonsumsi makanan sebagaimana biasanya.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang