Semakin hari, bukannya bahagia yang didapat, Ziro malah merasa jika ibunya makin tertekan. Pernah, diam-diam ia mendapati Haptari menangis sendirian. Dan langsung pura-pura tersenyum ketika ia datang.
Ketika ia tanya pun, ibunya selalu berkata baik-baik saja, padahal Ziro tau Haptari tersiksa. Tidak mudah hidup serumah dengan orang-orang yang menolaknya. Meski hanya Banni yang terlihat paling tidak suka dengan keluarganya, tapi Ziro tahu baik ibu dari papa tirinya pun kurang menyukai Haptari, meski selalu ditutupi.
Belum lagi ditambah masalah Sisil dan Aini. Kedua cewek keras kepala itu sering sekali bertengkar untuk hal-hal yang tidak penting. Tidak pernah mau akur. Ziro masih ingat kata-kata menyakitkan yang dilempar Ermi tempo hari ketika melihat dua cewek tersebut beradu mulut di depan kulkas,
"Kamu itu cuma numpang hidup di sini, jadi nggak usah sok jadi tuan putri. Sadar diri!"
Ziro mengerti Ermi pasti akan membela putrinya, apalagi Aini juga salah karena sembarangan memakan es krim kesukaan Sisil di kulkas. Namun, apa harus perkataan seperti itu keluar. Ziro tau mereka orang kaya, tapi ia dan keluarganya juga manusia. Kalimat tersebut benar-benar membuatnya terluka.
Ternyata benar, materi tidak menjamin kebahagiaan. Ingin sekali Ziro membawa ibu dan adiknya pergi. Lebih baik hidup susah seperti semula, daripada hidup macam begini. Namun, Ziro sadar ia bukan siapa-siapa yang punya kuasa. Lebih dari itu, Haptari bukan sepenuhnya miliknya lagi. Ibunya itu sudah menjadi hak dari seorang lelaki yang telah menikahinya. Dan Ziro cukup bersyukur karena sejauh ini Ridho masih memperlakukan ibunya dengan baik. Jika lelaki itu berani menyakiti ibunya, maka ia adalah lelaki pertama yang akan bertindak.
Ziro mengusap sudut matanya yang berair. Hanya masalah keluarga satu-satunya yang membuatnya menangis sebagai seorang lelaki. Ia kira dengan menikah, Haptari ada mendapat perlindungan yang lebih baik, tapi sekarang Ziro malah tambah khawatir.
"Ziro."
Panggilan dan usapan di punggung itu membuatnya menoleh. Ziro kembali mengusap mata. Ternyata Ridho, dan kini lelaki itu sudah duduk di sampingnya.
"Kenapa itu mata kamu? Kelilipan?"
Ziro mengangguk kecil.
"Cowok menangis itu wajar loh, kalau memang ada masalah berat yang ditanggung. Nggak ada yang melarang, bahkan Undang-undang pun, bener kan?" Ridho terkekeh. Ziro kembali menggangguk.
"Kita itu mirip loh, kalau ada masalah pasti pengennya sendiri. Dan tempat ini memang tempat yang nyaman buat menyendiri." Ridho menepuk gazebo dekat kolam renang yang sekarang mereka tempati.
"Tapi, sebelum ketahuan cewek-cewek rumah yang tanpa tahu keadaan dan tiba-tiba ikut nimbrung. Seperti aku ini yang tanpa tahu diri tiba-tiba ikut duduk. Padahal pasti kamu lagi pengen sendiri."
"Nggak papa, inikah rumah Abang."
Ridho menyerengit, Ziro segera meralat panggilannya, "Maksud aku inikah rumah Papa." Ziro menelan ludah lalu menganguk.
Ridho tersenyum tipis, lalu mengusap rambut anak tirinya itu. "Panggil terserah kamu, asal nyaman."
"Maaf."
"Nggak perlu minta maaf, mungkin kamu memang belum terbiasa sama perubahan ini."
Ziro mengagguk.
"Oh iya, ini rumah kamu juga, jangan pernah merasa jadi orang lain di sini, paham?"
Kemudian hening, sampai Ridho kembali membuka percakapan,
"Ada masalah?"
Menoleh, Ziro menatap Ridho sebentar, lalu menunduk. Ridho menghela napas,tangannnya telulur merangkul, menepuk-nepuk dari samping pemuda 16 tahun itu. Umur yang seharusnya masih dipakai untuk bersenang-senang, mencari jati diri, tetapi keadaan memaksa untuk berpikir dewasa, bahkan melebihi kapasitasnya. Suatu posisi yang mengingatkan pada masa remajanya dulu, tapi tentu ia jauh lebih beruntung dari pemuda tanggung ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...