23. Akhirnya

717 97 2
                                    

Aku tunggu di taman belakang sepulang sekolah.

-Ziro

Sisil membaca secarik kertas itu lantas melayangkan matanya ke punggung cowok yang duduk berjarak dua meja di depannya. Cewek itu mrnghela napas pendek. Dilihatnya es krim kesukaan yang sudah mencair. Segera ia mengambil tissue di tas, lalu mengelap lelehannya di atas meja.

Diambilnya sisa es krim yang sepertinya sudah dibeli sejak lima belas menit lebih itu. Diam-diam Sisil tersenyum kecil. Ia tau Ziro tidak selalu punya uang untuk membeli, jadi bisa dipastikan cowok itu mengorbankan uang jajannya. Dan bisa jadi juga Ziro belum makan apa-apa selama istirahat. Tiba-tiba Sisil merasa bersalah, tapi segera menggelengkan kepala. Ia juga tidak meminta, Ziro sendiri yang punya inisiatif membelikan.

Sebenarnya Sisil sudah tidak betah berlama-lama musuhan dengan Ziro. Teringat hampir setahun ini mereka selalu bersama, dan ini kali pertama mereka diam-diaman sampai lama. Hanya saja kadang jika mengingat cowok yang sangat ia percayai tidak percaya padanya, dan malah lebih percaya orang lain, hatinya masih terasa sakit. Lalu bertambah saat melihat Ziro bersama Kiya. Rasanya Sisil sangat tidak menyukai anak kelas sebelah itu, meski ia tahu Kiya bukan cewek jahat.

Belum lagi masalah baru keluargannya yang melibatkan keluarga Ziro. Ahh, ia ingin berteriak, mengapa masalahnya dengan Ziro malah bertambah rumit. Ia kangen Ziro, ingin sekali kembali berbicang hangat dengan cowok itu. Diremasnya kertas di tangannya dengan kuat.

Tiba-tiba Ziro menoleh padanya, Sisil yang belum siap refleks memalingkan muka. Cowok itu tersenyum kecil. Tatapan mengikuti arah gerak Sisil yang melewati bangkunya sambil membawa es krim pemberiannya keluar kelas. Ziro mendesah, bahunya turun, pasti Sisil berniat membuang, pikirnya.

Namun, diluar dugaan Ziro Sisil justru memakan bagian yang tersisa. Sejengkel-jengkelnya, Sisil masih mengargai pemberian orang lain padanya. Apalagi orang itu adalah Ziro. Tanpa sadar air mata ikut meleleh dari matanya, entah sampai kapan ia akan menanggung perasaan seorang diri.

****

Ziro menunduk, kakinya mengetuk-entuk ke tanah, tiba-tiba ia tersenyum sumringah melihat cewek yang datang menghampiri.

"Kenapa?" tanya Sisil masih jutek seraya duduk di sebelahnya.

Ziro mengelus rambutnya, tapi Sisil segera menepis. "Apaan sih. Nggak usah sok manis deh," ujarnya sambil menggerutu entah apa, Ziro tidak terlalu mendengarnya.

"Sampai kapan?" tanya Ziro.

"Apanya?"

"Kamu marah sama aku?"

Sisil mengela napas. "Sampai kapan?" tanyanya balik.

"Apanya?"

"Kamu pura-pura nggak ngerti," jawabnya sembari menunduk.

"Pura-pura nggak ngerti apa?"

Mendadak Sisil kembali tersulut mendengar jawaban sok polos itu. Ia tahu Ziro mengerti apa yang ia maksud.

"Nggak usah sok bego deh, Ro," serunya. Ziro membelalak mendengar Sisil berbicara agak kasar, sedangkan Sisil sendiri sudah tidak perduli, masa bodo Ziro tidak suka, ia sedang kesal sekali dengan cowok itu.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang