Mendengar ketukan di pintu, Haptari yang sedang menyisir rambut panjangnya, segera menggelung asal, lalu menarik kerudung jadi, memakainya sambil berjalan menuju pintu.
Seketika ia terkesiap melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Untuk apa ibunya Ridho datang ke sini lagi? Batinnya bertanya. Namun, tak membiarkan waktu terlalu lama, ia mempersilakan Ermi masuk.
"Sebentar, Bu, saya buatkan teh."
Haptari hendak beranjak, tapi Ermi segera menahannya. Ia menatap wanita baya itu, tapi tanpa banyak bicara, ia segera mendudukkan tubuhnya kembali.
"Tidak usah repot-repot, terimakasih."
Haptari mengangguk. Ia diam, menunggu tamunya memulai pembicaraan. Karena, Haptari tahu kedatangan Ermi tidak mungkin tanpa tujuan.
Ermi menarik napas pendek, "Saya ada perlu sama kamu."
"Iya, Bu, saya tau. Silakan .... "
Namun, selanjutnya Ermi diam. Haptari pun demikian. Hening. Haptari merasa sungkan harus memulai percakapan.
"Saya ..." Ermi mentap kedua manik mata Haptari, "mau kamu menarik kembali tolakan kamu, dan menerima Ridho."
Seketika Haptari mengangkat wajah dengan ekspresi bingung bercampur kaget. Dahinya berkerut-kerut. Seolah meminta penjelasan atas apa yang dikatakan Ermi berusan.
"Saya ini terdengar gila tapi," Lagi, Ermi menatap dalam mata Haptari, "saya nggak kuat lagi, Haptari."
Kali ini Haptari melihat mata wanita baya itu memerah, menahan cairan bening yang mendesak keluar.
"Maksudnya?"
"Saya mau kamu manikah dengan Ridho."
"A-apa ...? Ta-tapi, bukankah Ibu sendiri yang--
"Iya, saya tahu Haptari, tapi...
Ermi akhirnya menumpahkan semua. Bagaimana tersiksanya ia melihat keadaan Ridho selama ini. Badan Ridho tampak lebih tipis, karena selalu telat makan. Pun kantung matanya yang tampak tebal. Bahkan, anak laki-laki itu lebih banyak lembur, dan tak jarang menginap di kantor.
Kesehatannya makin terganggu. Ermi yakin semua itu ada hubungannya dengan sakit di hatinya, akibat gagal cinta untuk kedua kali. Ermi sangat tahu Ridho bukan tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta, itu memang tulus dari hatinya. Dan Ermi yang semakin merasa bersalah, akhirnya memutuskan bertemu Haptari petang ini.
Haptari terperanjat mendengar kalimat itu. Mukanya pias. Jantungnya berdetak kuat. Permainan apalagi ini yang harus ia perankan. Haptari benar-benar tidak mengerti dengan semua ini.
"Saya mohon, Tar. Saya bener-bener nggak tahu lagi harus gimana?" Pada akhirnya Ermi tidak bisa menahan tangisnya.
Haptari menarik napas, lalu menurunkannya. Ia memejamkan mata, lalu membukannya. Ia menatap Ermi, mencoba menjawab setenang mungkin.
"Bu, saya menghormati Ibu. Dan saya pikir pak Ridho enggak jadi menikan dengan saya adalah keputusan terbaik. Karena, sebagai seorang ibu sangat mengerti perasaan Ibu. Saya sangat paham posisi."
"Tar, tapi ini masalahnya ...
"Saya emang orang miskin, Bu. Ditambah saya cuma janda yang menghidupi dua anak remaja. Tinggal di kontrakan sempit. Enggak punya apa-apa. Tapi, bagaimanapun keadaanya saya masih manusia. Hari itu Ibu yang nyuruh saya menolak pak Ridho, Ibu juga memesan makanan banyak sekali, seolah menyogok saya, oke saya turuti. Sekarang, Ibu juga yang ingin saya menerima anak Ibu. Apa Ibu berpikir kehidupan saya ini cuma sebuah permainan? Sekali lagi, Bu. Saya masih manusia."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...