8. Canggung

839 109 5
                                    

Rasa canggung menyelimuti orang-orang yang tengah duduk mengelilingi meja restoran tersebut. Belum ada yang membuka suara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya denting sendok yang mengurai keheningan itu.

Terlebih Haptari. Mengangkat wajah saja rasanya ia tidak sanggup. Malu sekali  pada Ridho. Bagaimana tidak, bosnya itu telah membelikan Aini handphone dengan harga yang fantastik menurut Haptari. Sebenarnya ia sudah berusaha menolak, tapi Ridho tetap bersikeras. Belum lagi ditambah rengekan Aini yang membuat segalanya semakin rumit.

Sementara di sisi lain Ziro tidak kalah malunya. Harga dirinya sebagai laki-laki terinjak di depan Sisil. Sudah banyak sekali ia menyusahkan cewek itu. Di sekolah pun ia sering dibelikan jajan. Sedangkan ia tidak pernah memberi Sisil apapun. Walapun Sisil tidak pernah membahas, tapi Ziro merasa tidak enak.

Ziro menghela napas, mengunyah makanannya pelan. Saat ini mereka sedang berada di restoran mall untuk mengusi perut. Tentu saja atas bujukan atau lebih tepatnya paksaan Ridho. Bertambah pula rasa tidak enak Haptari, karena merasa sudah menyusahkan terlalu banyak.

"Ehm ...," Ridho menatap sekeliling. Hening. Entah kenapa orang-orang ini, semuanya diam seolah sedang puasa bicara. Ia pun jadi sungkan mau membuka suara.

"Jadi abis ini kalian mau ke mana?" tanya Ridho, lebih tepatnya basa-basi agar suasana lebih mencair.

"Pulang," jawab Haptari pelan. Di sampingnya, Aini anteng-anteng saja, karena sangking senangnya.

"Nggak mau jalan-jalan dulu, mungkin kita bisa ke---

Dengan cepat Haptari menggeleng. Ia tidak mau semakin menyusahkan.

"Oh, oke."

"Eh, Ro, kita jalan-jalan ke toko buku bentar yuk. Temenin. Aku mau nambah koleksi buku," ajak Sisil.

Ziro yang tidak mungkin menolak pun, mengagguk dan beranjak dari kursi. "Yuk."

Ziro dan Sisil pun pergi. Disusul Aini yang mengekori dua orang itu, sekalian jalan-jalan. Tinggalah Ridho dan Haptari. Momen awkward pun semakin menjadi.

"Mbak," panggil Ridho.

Haptari mendongak. "Iya, Pak?"

"Mbak, kan saya udah bilang kalo di luar kantor nggak usah panggil ... "

"Iya, Do." Haptari mengagguk cepat.

Ridho tersenyum kecil. Haptari terlihat gugup sekali. Tapi anehnya itu semakin membuat ia penasaran untuk tau kehidupan wanita itu lebih dalam.

"Mbak Tari marah sama saya?"

"Ma-marah kenapa ya?"

"Karena saya sudah memaksa untuk membelikan Aini handphone."

Haptari menunduk.

"Maksud saya nggak jahat kok, saya cuma nggak tega. Saya tau Aini itu masih labil. Sisil aja yang umurnya di atas Aini, tingkat kelabilannya nggak jauh beda," jelas Ridho.

"Iya, saya tau. Tapi saya ngerasa nggak enak sama Bapak, eh, meksud saya kamu."

Mendengar Haptari menyebut 'kamu' Ridho tersenyum tipis. Terdengar menggelitik, tapi ia suka. Terasa lebih santai.

"Saya nggak ngerasa keberatan, kok."

"Tapi saya yang ngerasa keberatan," jujur Haptari. "Saya nggak tau gimana cara balikinnya. Uang segitu terlalu besar buat saya."

"Tapi saya nggak berharap dibalikin, Mbak."

Haptari menggeleng. Ia merongoh tasnya, mengambil uang yang tadinya untuk membelikan handphone Aini. "Ini, saya punya sejuta setengah. Anggap aja saya nyicil. Insya Allah kalo ada rejeki lagi, saya lunasi secepatnya."

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang