Haptari menatap bayangannya di cermin, usai MUA selesai merias wajahnya. Meski ia sudah meminta supaya tidak didandani terlalu menor, tapi wajahnya yang biasanya hanya ia taburi bedak bayi, kini tampak sangat berbeda. Hampir-hampir ia tidak mengenali wajahnya. Meski agaknya itu sedikit berlebihan.
Ia tidak pernah menduga hari ini akan datang kembali pada hidupnya. Haptari tak henti mencubiti tubuh, masih merasa mimpi, dan akan terbangun di kamarnya esok pagi. Namun, tindakan itu hanya membuatnya memperoleh teguran dari wanita yang sedang membentuk hiasan di kerudungnya itu.
Setelah segala yan rumit datang silih berganti, kini Allah memberi jalan melalui lelaki yang sebentar lagi akan jadi suaminya. Masih teringat bagaimana kesungguhan itu terpancar kala memohon agar tidak ditolak lagi itikad baiknya. Awalnya ia masih ragu, tapi ketika melihat permohonan sama dari ibu Ridho, akhirnya Haptari luluh.
Haptari masih tidak tahu apakah keputusan besar ini sudah benar, mengingat ia tidak melihat keyakinan sama pada ayah Ridho. Namun, ia hanya memohon semoga takdir Allah kali ini menjadi yang paling tepat untunya dan semua.
"Wah, Ibuk cantik banget, nggak nyangka ya kalau Ibuk beneran nikah sama om Ridho. Eh, maksudnya papa Ridho. Berarti sebentar lagi kita jadi orang kaya dong, tinggal di rumah sebesar ini! Woow!"
Aini mengedarkan matanya yang berbinar. Saat ini mereka sudah berada di rumah keluarga Ridho, lebih tepatnya di kamar di mana Haptari didandani, untuk melaksanakan ijab kabul beberapa jam lagi.
Haptari mengkode melalui mata, meminta Aini supaya tidak bersikap demikian. Ia merasa tidak enak dengan wanita yang sedang meriasnya.
****
Melihat Banni yang uring-uringan, Ermi menghampiri. Ia memegang tangan Banni, menarik suaminya untuk duduk di tepi ranjang.
"Ini benar-benar gila, Ma. Bagaimana Papa akan menjawab jika para kolega tau anak kita menikah dengan janda, yang bahkan seorang cleaning servis di kantornya sendiri!"
Ermi mengelus dada Banni, berusaha menenangkan pria itu. Semua ini memang gila, tapi keputusan sudah diambil, dan ini atas persetujuannya juga.
"Sudahlah, Pa. Biarkan saja Ridho bahagia," putus wanita itu.
"Biarkan anak itu bahagia, lalu hancurkan reputasi keluarga, begitu? Mama juga sama gilanya. Kenapa bisa-bisanya sangat memaksa menerima wanita itu?"
"Papa tau sendiri kan gimana keadaan Ridho setelah Haptari menolak lamarannya? Bahkan, kesehatannya pun ikut kena dampaknya. Masih teringat bukan saat Papa menyuruh Rani memutuskan hubungan dengan Ridho? Apa kita akan jadi orang jahat untuk kedua kalinya?"
Banni melengos, Ermi kerap kali mengingatkan tentang hal itu. Walau ia pernah menolak, tapi jika Ridho membawa kembali Rani, tentu ia akan merestui. Dahulu ia melakukan itu semata karena menganggap Rani berpotensi mengganggu kuliah Ridho.
Sekarang, malah lebih parah. Kepala Banni terasa sakit jika memikirkan yang akan terjadi selajutnya. Meski pernikahan ini tidak dirayakan secara besar-besaran, karena keinginan langsung dari kedua mempelai. Namun, tetap saja ia tidak tahu apa yang akan dikatakan orang di luar sana, mengingat status Ridho adalah seorang anak pemilik perusahaan.
"Kalau Mama lihat, Haptari itu memang wanita baik. Jadi, biarkan saja, mungkin ini sudah jadi jalan Allah untuk anak kita."
"Baik menurut Mama? Sekarang kalau Papa tanya, di mana kira-kira sanak keluarga wanita itu, kenapa belum ada yang muncul sampai sekarang?" Banni tersenyum sinis. "Dari keluarga saja tidak jelas!"
"Huss, Papa gak boleh ngomong kayak gitu. Kata Ridho nanti kakaknya yang dari Bekasi datang, mungkin masih di jalan. Kita tunggu saja."
Banni melirik istrinya, lalu mendengkus. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Sebelumnya saja mereka punya keputusan sama. Menentang pilihan tidak masuk akal Ridho. Lalu sekarang Ermi seolah menjadi pendukung paling depan. Bahkan, memaksa dirinya ikut menerima. Dan sialnya, sekeras apapun hatinya, ia selalu tidak sanggup menolak permohonan wanita yang sudah menemaninya sejak nol hingga pencapaiannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...