27. Gara-Gara Ponsel

896 95 3
                                    

Mereka berdua turun, begitu mobil yang menghantar sampai di depan gerbang. Selama perjalanan dari sekolah Aini sampai sekolahnya sendiri, Ziro hanya sesekali berbicara, itupun karena ditanya. Sisil yang menyadari hal tersebut, langsung menegur seraya menyamai langkah cowok itu menuju kelas.

"Kamu kenapa sih, Ro? Marah sama aku?" tanya Sisil merasa kesal dengan sikap Ziro.

Mengangkat wajah, Ziro mengela napas. Ia terus teringat adu mulut di meja makan tadi. Ia memikirkan bagaimana keadaan ibunya di sana. Hal tersebut membuat semangat sekolahnya berkurang. Ia menoleh ke samping sambil tersenyum tipis. "Aku gak apa-apa, kok, Sil."

Sisil melipat tangan sambil mengembuskan napas pendek. "Ditanya jawab gak pa-pa, kayak cewek aja. Pasti kamu sebel sama sikap papaku tadi, kan?"

Cowok itu menunduk, lalu menggeleng. Meraih tangganya, Sisil mengentikan langkah Ziro. Ia mengajaknya menepi dari lalu lalang koridor utama. "Ro, jangan kayak gini. Semua ini udah cukup mengagetkan buatku. Jangan ditambah sama sikap kamu yang berubah. Papaku emang sifatnya agak keras, tapi sebenernya dia baik, kok. Mungkin kalian yang belum terlalu mengenal. Ini cuma perlu pembiasaan."

Ziro menghadap Sisil, kemudian menggenggam kedua tangannya. Cewek itu terdiam. "Aku gak marah sama kamu. Atau sama keluarga kamu. Aku ngerti, seharusnya kami yang sadar diri."

"Ro!" jerit Sisil, berdecak. "Jangan ngomong gitu, dong. Aku gak suka!"

Melepas tangan Sisil, lalu mengangguk. Ziro tidak ingin menambah perdebatan. Ia pun mengajak Sisil meneruskan jalan. Sampai depan kelas, Sisil mellirik Kiya sedang memperhatikan mereka dari ambang pintu. Sisil tersenyum jahil, lalu mengapit lengan Ziro posesif. Ziro hanya menoleh sekali, membiarkan Sisil melakukan itu sampai mereka masuk kelas. Kiya hanya menghela napas, sebelum berbalik masuk kelasnya sendiri.

Belum sampai duduk, Ziro sudah ditarik dua temannya, dibawa ke bangku belakang. Sisil hanya mengangkat bahu, lalu duduk di bangkunya. Setelah berbaikan waktu itu, ia dan Ziro kembali menjadi teman sebangku.

"Jadi sekarang Sisil tante lo? Nyokap beneran nikah sama kakaknya Sisil?"

Ziro menggangguk samar. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari dua manusia kepo itu. Egi dan Dito membelalakkan mata, sebelum kompak bertanya,

"Berarti sekarang lo udah jadi orang tajir dong?"

"Wah, jangan lupa traktir kita-kita, ya," ujar Egi semangat.

Ziro hanya menatap tanpa minat,  sebelum menjawab, "Nggak kok, gue yang tetep Ziro yang kayak dulu. Yang jarang punya duit."

"Alah, jangan merendah lo," Egi menyikut lengan Ziro. "Kita tahu kali, gimana tajirnya keluarga Sisil itu."

"Nah itu lo tau, yang tajir berarti keluarga Sisil bukan gue. Gue mah ya tetep gini-gini aja."

"Aih, dasar lo. Bilang aja gak mau neraktir kita orang, yekan?"

Ziro memutar bola mata sambil beranjak pergi. Ah

"Dasar mental gratisan," ejek Dito, menoleh ke Egi.

"Eh, Monyet Sawah, emang lo gak mau?"

"Hehe, ya mau aja sih."

Tolong suapapun yang bawa pulpen, Egi mau pinjam, katanya ingin mencoret Dito dari daftar teman dekatnya.

****

Setelah dibicarakan, Ridho sudah memutuskan Haptari tidak akan lagi sebagai anggota kebersihan di kantornya. Wanita itu sempat protes, tapi akhirnya menurut. Apa kata orang jika melihat istri pemilik perusahaan menjadi cleaning servis. Meski Haptari sadar, menjadi istri Ridho saja sudah menimbulkan buah bibir seantero kantor.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang