41. Tolong Jangan Buat Ibu Terluka

858 75 13
                                    

Mengerjap, Ridho mengusap mata seraya menyesuaikan cahaya. Sejurus kemudian ia menoleh ke samping, menemukan Haptari yang tengah merancau dengan suara tidak jelas.

"Mas-mas, maaf ...." Hanya itu. Selebihnya Ridho tidak paham apa yang Haptari ucapkan. Segera ia membangunkan istrinya melihat air yang menetes dari sudut matanya.

Sepertinya Haptari tengah mimpi buruk, pikirnya.

"Kenapa?" tanyanya begitu Haptari membuka mata. Lelaki itu membantu ketika Haptari hendak duduk. Seketika itu Haptari memeluk pundaknya.

"Mas," ujarnya.

"Maaf, maafin aku. Jangan marah lagi, ya. Jangan bilang kayak tadi, sa-sakit," ujarnya sembari terisak sisa mimpi tadi. Entah ia mimpi apa, tidak jelas. Namun, ia yakin itu karena tidur dengan keadaan tidak tenang.

Ridho menghela napas. Sejujurnya pun ia merasa bersalah, karena ucapannya tadi. Namun, ia masih enggan menunjukkan. Pada akhirnya hanya memilih mengangguk.

"Mas, masih marah?"

Lelaki itu kembali menghela napas. "Kamu tadi mimpi apa?" Bukannya menjawab, ia balik bertanya.

Haptari menggeleng. "Enggak tahu, Mas. Aku tadi mimpi buruk kayaknya. Mungkin ini juga efek tidur, belum sholat isya."

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih sambil memeluk suami, Haptari bertanya, "Mas juga belum sholat, kan?"

Ridho menggeleng. Dengan semangat ia mengajak suami sholat bersama, meski dalam hati ia masih merasa sakit. Kalimat yang diucapkan Ridho tidak dapat ia lupakan begitu saja. Bahkan, masih terngiang. Namun, ia tidak ingin berlarut dalam masalah. Mungkin Ridho hilang kendali karena capek. Dan malam ini ia dan Ridho harus benar-benar berbaikan.

Dengan pelan, ia mengikuti tarikan sang istri. Hanya terasa tercubit. Seharusnya saat ini ia dan Haptari masih perang dingin. Namun, perempuan itu terus berusaha membujuknya. Ia tidak ingin egois, tetapi ego lelakinya sedang bekerja. Akhirnya Ridho memilih berbicara sepenuhnya.

Ridho mengamati sang istri yang sedang mengambil wudhu dengan pandangan waspada. Lantainya licin, ia takut Haptari terpeleset. Ingin ia memegangi wanita itu, tetapi sama saja ia membatalkan wudhunya.

Dengan datar ia menyuruh Haptari duluan, sementara ia ganti mengambil wudhu. Namun, Haptari tetap menunggu hingga ia selesai.

Mereka menjalani kewajiban berjamaah. Haptari sholat sambil duduk, karena perutnya sudah sulit diajak sujud.

Selesai sholat dan berdoa, Haptari mengambil tangan Ridho untuk disalami, sembari kembali mengatakan maaf, karena takut Ridho merasa tidak dihargai.

Ridho menunduk, ini bukan sepenuhnya kesalahan Haptari, tetapi mengapa egonya terasa tergores.

***

Pagi harinya, Haptari terlihat lahap sarapan dengan ayam goreng yang dibeli Ridho kemarin.

Ridho yang memperhatikan itu menghela napas. Hatinya terasa tercubit sudah marah dengan Haptari semalam hanya karena salah paham. Perempuan itu sudah berusaha menghargainya, tetapi dirinya yang terlanjur emosional.

"Masih enak kok, Mas. Tadi pagi aku angetin lagi ayamnya."

Haptari tersenyum padanya, Ridho membalasnya dengan senyum tipis. Ia segera menyelesaikan makan, lalu beranjak dari sana.

Duduk di teras belakang, Ridho merenung. Dirinya tahu bahwa ia salah, tetapi egonya masih menahannya untuk sekadar meminta maaf.

Ini adalah pilihannya sendiri. Menikah dengan Haptari dan meninggalkan rumah serta pekerjaannya juga pilihannya sendiri. Namun, mengapa kini segalanya terasa sulit.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang