18. Sebuah Harga Diri

692 96 10
                                    

Turun dari mobil yang menghantarnya, Sisil berjalan pelan memasuki gerbang sekolah. Matanya mengawasi jalan, tapi pikiran bercabang ke mana-nama. Akhir-akhir ini segalanya terasa rumit. Di rumah pun rasanya tidak betah.

Bagaimana tidak, suasana rumah yang biasanya tenang, berubah seperti perang dingin. Tidak ada yang mau mengalah,  baik papa maupun kakaknya. Keukeuh dengan pendapat masing-masing

Biasanya kakaknya hampir tidak pernah menentang kehendak papa. Hanya Sisil anak yang paling keras kepala di rumah. Namun, masalah tidak direstuinya pendaping hidup, membuat Ridho akhirnya menunjukkan suara yang sebenarnya. Bagaimana sebagai seorang anak ia juga perlu dihargai pilihannya.

Sisil menghela napas. Belum sampai di situ, masalah diperparah dengan--dari kejauhan ia menatap dua orang yang sedang berjalan sambil mengobrol. Sesekali cowok yang amat dikenalnya itu tersenyum, entah apa yang sedang mereka bahas. Ia tidak mau tahu, karena itu akan membuat suasana hatinya semakin buruk.

Cewek dengan rambut dicepol itu meneruskan langkah, kakinya menghentak pelan. Ia tahu siapa cewek berkacamata yang bersama Ziro itu. cewek sama yang ditemui di perpustakaan waktu itu.

Tidak habis pikir mengapa Ziro jadi dekat dengan cewek itu. Apalagi kelasnya yang bersebelahan memudahkan mereka bertemu. Ini sudah hari kedua, dan Sisil rasa mereka malah semakin akrab.

Tentu saja itu membuat ia cemburu. Setahunya, selama ini hanya ia cewek yang paling dekat dengan Ziro. Sekarang ditambah si Kiya-Kiya itu. Mana panggilannya juga aku-kamu. Sebelumya kan panggilan itu cuma khusus untuknya.

"Ish, kapan sih Ziro itu paham perasaan gue? Ihh, sebel banget sama cewek itu. Dateng-dateng main rebut perhatian Ziro, nggak tau apa gue yang udah berjuang dari awal," gerutunya dalam hati. Tak lupa sunggutan tajam yang ia perlihatkan saat sedang kesal.

Membuat Ziro yang hendak menyapa jadi mengurungkan niatnya. Karena ketika ditatap, Sisil melengos dan berjalan cepat-cepat.

"Cewek kalau tiba-tiba kesel itu kenapa ya?"

Kiya mengangkat bahunya. "Nggak tau sih, tergantung ceweknya. Tapi, bisa jadi dia lagi PMS."

"Gitu ya?"

"Bisa jadi sih."

Ziro mengagguk-angguk.

*

Sebelumnya, Haptari kira setelah ada orang yang mengaku mencintainya, dan mau menerima segala apa yang ada pada dirinya, semua akan membuat kehidupannya semakin tertata.

Namun, terkadang Haptari lupa jika ekspetasi tidak selalu sesuai dengan realita.

"Ih, padahal cuma orang kayak gini, tapi kok bisa ya bikin bos tergila-gila. Pake pelet apasih dia? Heran gue."

"Iya yah, aneh banget. Cantikan juga gue. Lebih terhormat juga gue. Tapi kenapa sih musti pilih tukang bersih-bersih itu. Kayaknya mata bos Ridho emang perlu diperiksakan di THT deh."

"Haha, sekalian aja rukyah, biar langsung sadar. Uhh, gemes gue."

Begitulah bisik-bisik tapi keras yang dilontarkan para karyawati saat keluar dari toilet, setelah sebelumnya menatap rendah Haptari yang sedang bersih-bersih di sana. Wanita itu hanya mengelus dada, menebalkan telinga, agar tidak terpengaruh kata-kata yang dimaksudkan untuk menyindir dirinya.

Masalahnya jelas, mereka iri dengan Haptari yang menurutnya rendahan, tapi mampu menarik bos yang mereka tahu sudah berulang kali menolak karyawati yang hendak mendekati.

Apasih menariknya? Mungkin hal itu yang membuat mereka penasaran hingga tak melepaskan pandangan saat ia sekedar lewat atau sedang membersihkan sesuatu, membuat wanita itu merasa risih.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang