Turun dari mobil, pandangan Haptari terpaku pada rumah papan sederhana, yang kini sudah bertembok bata dan bercat putih. Tatapannya mengabur, air mulai mengalir di kedua sisi matanya. Ia tidak mampu membendung haru, dapat meninjakkan kaki lagi di tepat ia dibesarkan, setelah berpuluh tahun tidak pernah pulang sejak memilih pergi hari itu.
Masih tergambar dalam ingatan, bagaimana kacau hidupnya dulu. Suami pertama pergi meninggalkan dunia, lalu tak cukup untuk itu, Haptari mendapat penolakan dari mertua dan ketika kembali ke rumah, ia seolah tidak diterima oleh keluarga angkatnya.
Hidupnya tidak jelas, merasa tersiksa terus disindir oleh saudara angkat juga tetangganya. Jika tidak ada Ziro, sang buah hati yang masih memerlukan kasih sayangnya, mungkin Haptari sudah gila, menerima cobaan yang begitu hebatnya.
Bak pahlawan, Rio datang meminang dan membawanya dan Ziro merantau ke Ibukota untuk memulai kehidupan baru. Meninggalkan keluarga angkatnya di Bekasi. Namun, malang tidak dapat ditolak, ia kembali ditinggalkan, karena wanita yang lebih segalanya dibanding dirinya. Sejak saat itu Haptari tetap menetap di Jakarta tanpa pernah lagi kembali ke Bekasi. Dan kini setelah masa itu berlalu, ia kembali datang ke rumah ini untuk meminta restu pernikahannya. Bagaimanapun mereka perhah berjasa besar, mengasuhnya dari bayi. Haptari tidak mungkin melupakan hal tersebut.
Diketuknya pintu bercat coklat itu pelan. Tangannya agak bergetar. Ridho, Ziro, dan Aini yang menemani berdiri di belakang Haptari. Ziro hanya tahu ia pernah tinggal di rumah ini, tapi ia sudah benar-benar lupa. Sedangkan, Aini yang tidak pernah mengenal tempat ini hanya terdiam. Jika bukan karena paksaan Haptari, ia juga tidak mau berkunjung ke rumah yang tidak ia kenali sama sekali.
Terdengar suara derap langkah dari dalam. Haptari menahan napas. Jantungnya bergemuruh. Begitu handle bergerak dan pintu terbuka, mereka sama-sama mematung. Haptari langsung mengenali, sedangkan wanita yang membuka pintu itu, menatapnya dengan kening mengkerut.
"Mbak Ina?"
Wanita itu mengangguk. Tanpa aba-aba Haptari langsung menubruk tubuhnya. Tidak perduli caci yang pernah ia terima dulu, Haptari tetap menganggap wanita itu saudaranya.
"Ka-kamu Tari?" tanya Ina disela pelukan itu.
Ina meregangkan pelukan mereka, memegang kedua pundak Haptari, menggerakkan ke kanan kiri, masih tidak percaya jika wanita di hadapannya adalah adik angkatnya yang sudah tidak pernah ia temui lagi berpuluh tahun lalu.
"Kamu beneran Tari?" Matanya ikut memerah, tidak ada lagi tatapan menyalak dan cemooh seperti dulu.
"Iya, Mbak."
"Haptari?"
"Iya, Mbak, ini aku Haptari Astuti!"
Ina membekap mulut, langsung memeluk Haptari lagi.
****
"Bapak udah meninggal tiga tahun lalu, dan Ibu menyusul setelahnya," jawab Ina lirih ketika Haptari menanyakan kabar ibu dan bapak angkatnya.
Kembali, wanita lembut itu meneteskan air mata. Ia paling dekat dengan bapak, bahkan Haptari masih ingat saat diajari naik sepeda. Dipanggul di bahu saat pertama kalinya masuk sekolah dasar.
Haptari tercekat, ia mengucap maaf berulang kali. Air matanya bergulir. "Aku bener-bener minta maaf, sebagai anak aku udah sangat keterlaluan. Nggak ada saat orangtua susah. Aku memang anak yang nggak tau balas budi."
Wanita yang berjarak 10 tahun dari Haptari itu menggeleng. "Kamu nggak salah, Tar. Kami yang seharusnya minta maaf sama kamu. Dulu, kami yang egois memaksa kamu menikah muda, dan kami juga yang nggak memperdulikan saat kamu terpuruk."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...