38. Tanggungjawab

697 58 3
                                    

Ketika di rumah sendiri kayak gini, Haptari selalu merasa kesepian. Kedua anaknya sekolah, dan suaminya bekerja. Ridho dan Ziro biasanya sampai rumah malam, sementara Aini yang pulang lebih dulu, memilih mengurung diri di kamar bermain HP. Berkali Haptari menasihati, tetapi anak itu mana mau dengar. Dia tetap pada kebiasaannya setiap hari.

Dari dulu Haptari memang sering kesepian, tetapi ia menyiasatinya dengan bekerja. Sehingga ia tidak terlampau hampa. Namun, sekarang Ridho maupun Ziro tidak mengizinkan ia bekerja, bahkan Ridho akan marah bila ia membantah.

Sungguh membosankan rasanya seperti ini. Tidak ada apapun yang bisa menghiburnya. Belum lagi mood yang sekarang gampang kacau. Haptari mengusapi perutnya yang semakin membuncit. Bermonolog dengan jabang bayi tersebut, Haptari pun beranjak.

Ia masuk ke kamar Aini, lalu menghela napas. Terkadang saat diam-diam mengintip ia mendapati anak lelakinya tidur di bawah. Barangkali setiap hari selama tinggal di sini. Padahal dulu niat awal menikah dengan Ridho agar kehidupan anaknya lebih layak. Tetapi, sekarang kembali lagi seperti ini. Ia tidak menyesal, hanya saja merasa tidak berguna karena belum bisa memberi hidup yang baik untuk anaknya.

Belum lagi sekarang ada calon anak ketiga yang akan lahir ke dunia. Haptari tidak tahu apakah ini akan berakhir baik, tetapi ia berharap anak yang masih dikandungnya itu dapat menerima apapun nasib mereka ke depannya.

Wanita itu beranjak, menuju kaca rias di kamar Aini. Ia mengambil pewarna bibir yang ada di sana. Alat make up anak SMP itu tergolong lengkap. Anak itu membelinya waktu hidup Ridho masih makmur. Sehingga Aini minta apapun pasti lelaki itu turuti.

Tiba-tiba Haptari ingin berkreasi sedikit dengan wajahnya.

****

"Mas tadi ketemu sama Rani enggak?"

"Hah?" Ia baru pulang dan hendak mandi ketika Haptari menanyakan itu.

"Ketemu?"

"Apaan sih, Mbak. Ngapain coba nanya itu. Enggak penting banget."

"Udahlah Mas jawab aja."

"Emangnya kenapa sih?"

"Mas tinggal jawab aja kok sudah."

"Gak!" ketus Ridho berlalu ke kamar. Menurutnya aneh saja, karena bukan hanya sekali ini Haptari menanyakan apakah hari ini ia bertemu Rani. Ia seperti sedang dicurigai untuk sesuatu yang tidak ia ketahui. Dan kenapa mesti Rani, padahal jika bukan karena kebetulan, ia juga tidak akan bertemu Rani waktu itu.

"Mas, Mas kok ketus sih?" Haptari mengekor di belakang. Ridho mencopot jaket yang masih melekat, lalu menaruhnya asal.

"Lagian ngapain juga nanya aku ketemu Rani apa enggak. Ya jelas enggak lah, aku kan kerja bukan ke rumah Rani."

"Aku kan juga cuma tanya, Mas." Haptari menunduk.

"Ya, pertanyaan kamu itu enggak masuk akal. Suami pulang kerja bukannya diperhatiin, malah seakan-akan dicurigai. Kamu itu nanya ini bukan cuma sekali loh, bosen aku ditanya begini terus."

"Ya, aku cuma --

"Cuma apa? Cuma curiga? Aku memang pernah sayang banget sama Rani, tapi itu dulu. Sekarang Rani udah punya anak dan suami, dan akupun udah punya mbak Tari dan calon anak kita. Kalau jawaban itu bisa bikin kamu tenang, tolong jangan tanyakan itu lagi, bosan aku!" seru Ridho lalu berlari keluar.

Haptari duduk di ranjang sambil menunduk. Tetes-tetes itu mulai lolos. Ia merasa dirinya sungguh bertambah rapuh. Tidak lama suara hentakan kaki terdengar. Ternyata Aini yang masuk ke kamarnya dengan kesal.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang