Hari ini mereka akan melakukan perjalanan seperti yang direncakan Ridho minggu lalu, yaitu refleshing mengunjungi puncak Bogor. Haptari jadi teringat jika Bogor adalah kota tempat ia dibesarkan. Buru-buru ia menghela napas untuk menghilangkan sendu yang mulai datang. Mereka akan berlibur, yang artinya akan bersenang-senang. Ia tidak boleh terlihat murung, agar tidak membebani pikiran yang lain.
Wanita yang memakai atasan maroon dan rok hitam itu menghampiri ibu mertuanya yang berdiri di dekat pintu menyasikan persiapan mereka.
"Bu, kami berangkat dulu, ya, assalamualaikum," ucapnya sembari mengambil tangan Ermi untuk disalami. Ermi menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil.
"Bapak mana, Bu?" tanya Haptari, tidak melihat ayah mertuanya.
"Ada. Di dalam. Sudah biarin aja."
Mengangguk, ia tersenyum tipis. Meski sudah sebulan lebih ia menjadi menantu di rumah ini, tetapi rasa canggung itu masih kerap menyelimuti. Ditambah sikap ayah mertuanya yang belum banyak berubah. Masih dingin padanya.
Setelah semua bawaan dimasukkan ke bagasi, satu persatu berpamitan pada Ermi. Terakhir Ridho yang menghampiri seraya berkata, "Doaakan ya, Ma, pulang dari sana dapet cucu baru." Ia terkekeh.
"Udah banyak cucu loh, sekaligus dua gitu," jawab Ermi.
Mengetahui mamanya sedang menyindir, ia hanya menatap datar. Ermi terkekeh seraya mengusap punggung anak lelakinya itu. "Bercanda. Iya-iya Mama doakan, supaya Mama cepet-cepet dapet cucu dari kamu ya, Nak."
"Sip, Mama."
"Eh, jangan lupa jagain itu adek kamu. Tau sendiri kan adekmu itu kayak gimana."
"Siap! ada Ziro juga. Aman pokoknya." Ridho menunjukkan jempolnya, lalu maju mencium pipi mamanya, dan bebalik menyusul yang lain.
Di dalam mobil Ziro mendengkus melihat kelakuan dua cewek yang sedang berdebat tentang tempat duduk itu. Entah kapan mereka akan akur. Sementara hal kecil seperti ini saja dijadikan masalah. Huft, sepertinya selama perjalanan ia akan banyak-banyak istigfar menghadapi tingkah laku mereka.
"Aku mau duduk deketnya abang aku." Aini mengapit lengan Ziro.
"Ishh, aku juga mau deketnya Ziro, supaya ada temen ngobrol. Males ngobrol sama kamu, gak nyambung."
"Dih, siapa juga yang mau ngobrol sama kamu. Bang, itu loh kak Sisil senang banget ganggu Aini."
Astaghfirullah. Ziro yang duduk dekat jendela, geleng-geleng kepala lalu beranjak berpindah duduk di antara dua cewek keras kepala itu. "Udah kan? Semua kebagian? Hin," ujarnya, menyodorkan lengannya ke masing-masing mereka.
"Hehe, bisa aja kamu, Ro."
"Jangan ribut lagi, okey?"
"Aku mah nggak akan ribut, kalo kak Sisil ga duluan."
"Enak aja, Anak Kecil. Bukannya kamu yang sering mancing duluan?"
"Emang aku kail apa mancing-mancing?"
Arghhh, Ziro menggaruk kesal rambutnya. Ia memberikan tatapan tajamnya, baru dua cewek itu diam, meski masih menggerutu.
"Kalau kalian masih bertengkar, aku mending turun, gak jadi ikut."
"Eh, jangan!"
****
Perjalanan mereka tempuh selama... jam. Ziro meregangkan otot lengannya yang terasa kram, karena dijadikan tumpuan tidur dua cewek itu. Namun, itu lebih baik daripada harus mendengar ocehan debat tidak penting mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
Lãng mạnTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...