22. Antara Hati dan Ego

714 83 4
                                    


Keadaan Ridho sudah membaik. Mungkin besok ia sudah mulai bekerja. Meski laki-laki, tapi daya tahan tubuhnya lemah. Kelihatannya saja kuat, tapi sebenarnya terkena hujan sedikit saja atau menghirup debu jalanan, ia bisa langsung terserang flu. Dan kalau sudah begitu pasti badannya ikut drop. Pada dasarnya ia dan Sisil sama-sama gampang sakit.

Ermi menaruh sup buatannya itu di atas, nakas. Ia duduk di pinggir ranjang, menatap anak laki-lakinya yang belum banyak bangkit dari ranjang, sejak beberapa hari lalu. Tanpa banyak yang tau, orang yang terkenal tegas di kantor itu, nyatanya hanya lelaki manja jika sedang sakit.

Wanita baya itu mendesah pelan. Sup yang ia bawa belum berkurang separuh. Padahal kata Ridho, badannya sudah mulai pulih, tapi mungkin nafsu makannya belum sepenuhnya kembali. Lagipula Ermi tentu ingat Ridho tidak terlalu suka makanan berkuah. Minum pun tidak terlalu banyak, mungkin itu yang menyebabkan badannya sering kekurangan cairan.

"Dihabisin makananny, Do. Katanya besok kamu udah mulai kerja. Nggak usah kayak anak kecil, ah. Udah tua juga."

Ridho menatap ibunya malas. Daripada berbuntut panjang, ia pun makan sesuap nasi yang sudah dicampur kuah sup itu.

"Udahkan, Ma."

"Lagi dong, abisin! Nanti abis itu diminum obatnya."

Ridho menghela napas. "Iya, Ma. Nanti aku makan lagi," katanya sembari menarik selimut, dan kembali berbaring. "Kayaknya aku perlu tidur bentar, nanti abis bangun tidur kumakan lagi."

Hendak menyanggah, Ridho sudah memejamkan mata. Ermi menghela napas lagi, lalu beranjakdari kamar Ridho. Sambil membawa sup ke dapur, Ermi teringat kunjungan Haptari kemarin.

Ia sempat mengintip, bagaimana Haptari dengan telatennya menyuapi Ridho bubur. Meski terlihat pucat, tapi Ridho terlihat bahagia bersama wanita itu. Bahkan, Ridho yang ia tau paling anti dengan makanan lembek itu, tampak menikmati makan, dan memghabiskannya.

Mana yang harus ia pilih. Hati atau ego. Jujur saja, hati kecilnya mempercayai bahwa wanita itu baik. Namun, egonya tetap mempertanyakan derajat wanita itu. Ini bukan cuma soal cinta, tapi reputasi keluarnya. Belum lagi ia sangat hapal tabiat suaminya. Tidak mudah meluluhkan pria itu. Sudah pasti izin sangat sulit dikantongi.

****

"Kamu yakin, Do, udah kuat ngantor lagi?"

Ermi menatap khawatir Ridho yang tidak mengabiskan makanannya. Bahkan, habis separuh pun belum. Ridho meletakkan sendoknya sambil menjawab,

"Udah, Ma. Lagupula kebanyakan nelantarin pekerjaan malah bikin aku repot sendiri nantinya."

"Memang begitulah laki-laki saat diberi tanggungjawab," sahut papanya datar, dari sisi meja yang lain.

Ridho hanya mengangguk seraya mengela napas, sementara Ermi langsung menoleh ke sang suami, "Bukannya gitu, Pa. Cuma, Mama khawatir aja Ridho masih lemes."

"Bukannya dia sendiri yang bilang, kalau dia udah pulih. Dia sudah dewasa, sudah bisa mengatur dirinya sendiri."

"Iya, memang bisa. Termasuk memilih pasangan hidup," sahut Ridho, tersenyum tipis.

Papanya langsung menatap tajam. "Kalau kamu berniat membahas wanita itu, lebih baik bukan di meja makan. Lagipula wanita itu sendiri kan yang sudah menolak lamaran kamu."

"Iya, tapi entah kenapa aku gak yakin mengingat sebelumnya Mbak Tari sudah sempat menerima. Bahkan, mau diajak ke rumah ini, sebelum akhirnya pergi karena merasa terusir." Ridho tersenyum kecut.

"Jadi kamu menuduh kami yang menyuruh dia menolak kamu, begitu?!"

Ridho menjawab dengan kalem. "Aku nggak nuduh, papa sendiri yang mengakui. Malah sekarang kok aku jadi kepikiran itu ya, hmm."

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang