17. Sadar Diri

756 86 5
                                    

Rasanya ia ingin tertawa miris, lebih tepatnya menertawai dirinya sendiri.

Penolakan?

Kata itu sudah tidak asing dalam hidupnya. Sedari awal lahir pun, ia sudah menerima penolakan. Namun, penolakan yang dilakukan keluarga Ridho bak meneteskan jeruk nipis di luka yang menganga,

Perih!

"Dalam hidup ini saya menentukan standar, termasuk standar seorang perempuan yang akan jadi mantu saya,"

"Sekarang saya tanya balik sama kamu, andai kamu punya anak lelaki yang masih bujang, sukses, apakah kamu merestui anak kamu itu manikah dengan janda yang bahkan keluarganya saja tidak jelas?"

Papa Ridho benar, ia memang harus sadar diri. Andai esok Ziro menikah, ia pun ingin anaknya itu mendapat jodoh yang terbaik.

Orangtua mana yang ingin anaknya menikah dengan janda?

Seharusnya jarak yang memang terlihat jelas ini membuatnya paham jika sedari awal pun ia dan Ridho tidak ditakdirkan bersama.

Haptari berjalan pelan, menahan sakit di kaki pun hati. Ia menatap kontrakan kecilnya, lalu membandingkan ke rumah besar yang baru ia datangi tadi. Cairan bening lolos untuk kesekian kali, pantas saja ia ditolak oleh keluarga kaya itu.

"Buk, Ibuk kenapa?"

Menarik napas dalam, ia menjawab, "Nggak papa." Tidak lupa senyuman sebagai pengalihan.

Sementara, dari kejauhan seorang yang berada di mobil mengawasi. Memastikan wanita yang menolak untuk diantar pulang itu sampai rumah dengan selamat.

Tes.

Mengusap mata dengan punggung tangan, ia berbelok pergi.

*

Bebrapa hari yang menyedihkan berhasil dilewati. Ridho menatap kosong tumpukan map dihadapannya. Seharusnya ia tidak boleh seperti ini. Pekerjaan tetap pekerjaan dan harus diselesaikan. Namun, pikiran yang sedang kacau tidak mengizinkannya untuk fokus.

Terkadang ia ingin mempertanyakan apa kesalahannya sebagai anak. Sedari remaja ia tidak pernah berbuat suatu yang meresahkan orangtuanya. Namun, mengapa mereka terkhusus papanya selalu mengekang pilihan hidupnya.

Ia tentu masih ingat ketika pertama kali Rani memutuskan hubungan dengannya. Ridho tau, sebenarnya Rani hanya tidak betah dengan sikap papanya. Bagaimana Bani menunjukkan ketidaksukaan ketika Rani dianggap menganggu konsentrasinya saat jaman kuliah dulu. 

Lalu, sekarang terulang. Bahkan lebih parah. Masih terekam jelas diingatan ketika papanya terang-terangan menyudutkan status Haptari. Ia mengeti Haptari sakit hati. Namun, wanita lembut itu tetap segan. Tidak ada sanggahan, hanya keluar beberapa kata dan anggukan.

Sedangkan, mama yang Ridho anggap dapat memberi pembelaan, tidak melakukan apa-apa. Dari situ ia menyimpulkan jika mama juga mempunyai pendapat serupa dengan suaminya.

Ia tidak direstui, lagi.

Ridho mengembuskan napas lelah. Kepala terasa pening. Ia memanggil sekertarisnya, meminta bagian dapur untuk membuatkan kopi untuknya.

"Tolong kalau bisa suruh Haptari yang buat, saya mau kopi buatan dia," sekertaris itu menyerengit mendengar nada bicara Ridho yang datar, tidak seperti biasa, tapi ia segera melakukan perintah atasannya.

Tidak butuh waktu lama kopi yang diminta datang, tapi sayangnya bukan Haptari yang menghantar. Office boy itu beralasan jika Haptari sedang banyak perkerjaan.

Ridho berdecak, lalu keluar dari ruangan.

Sementara itu, Haptari melirik dari sudut mata ketika menyadari seseorang sedang mengawasinya bekerja. Namun, ia tetap melakukan akrifitas seperti biasa, bahkan ketika dirasa seorang itu mengikuti arah geraknya, ia masih berusaha menekan kegugupannya.

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang