"Maaf, ya, Mbak. Bukannya aku bahagiakan, malah kembali kuajak hidup susah."
Haptari tersenyum. "Enggak apa-apa, Mas. Bukan sepenuhnya salah kamu kok, mungkin ini balasan karena kita menikah tanpa restu orangtua."
"Mbak," Ridho menggeleng, menatap Haptari.
"Memang kenyataanya begitu kan, mas. Dari awal papamu memang enggak memberi restu, mungkin mamamu memang memperbolehkan, tapi aku yakin di hati mama yang paling dalam, beliau sebenarnya belum ikhlas dengan pernikahan kita. Jadi anggap saja ini konsekuensi dari itu semua."
"Maafkan, orangtuaku ya, Mbak."
Wanita itu tersenyum, mengelus pundak Ridho. Tangannya bergerak, mengusap kelopak mata Ridho yang berair. Ia tahu suaminya sedang menahan bening yang mendesak keluar. Bagaimanapun pernikahan tanpa restu orangtua, tidak akan berjalan mulus.
"Mas," panggilnya lirih, meraih tangan Ridho. "Orangtuamu enggak salah kok, mungkin kita akan melakukan hal yang sama jika kelak anak kita akan menikah. Tidak ada orangtua yang rela, anaknya menikah dengan janda, yang bahkan sudah mempunyai dua anak remaja. Aku mohon, jangan menganggap apa yang dilakukan orangtuamu itu sesuatu yang salah."
"Mereka enggak salah, tapi belum tentu juga benar. Mbak, aku ini sudah lebih dari dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri. Dan yang harus Mbak garis bawahi, aku Ridho enggak pernah menyesal sama sekali menikah dengan janda seperti mbak Tari," Ridho mengelus pipi Haptari, mengecup singkat bibir wanita itu.
"Aku enggak pernah merasa begitu hidup setelah ditinggal mantan kekasihku, sebelum bertemu dengan Mbak. Aku yakin Mbak, pertemuan pertama kita yang kurang mengenakkan hari itu, adalah isyarat dari Allah kalau Mbak Tari memang jodohku."
"Aku ikhlas, Mbak, aku benar-benar ikhlas. Sudah berulang kali aku bilang, kalau aku ikhlas jadi suami dan ayah buat anak-anak Mbak Tari. Aku juga ikhlas walaupun harus kehilangan apa yang aku capai selama ini. Anggap saja ini perjuangan seorang lelaki. Jadi, jangan pernah lagi menganggap diri Mbak itu beban buat aku. Aku sedih Mbak kalau dengar itu."
Ridho menangkup pipi Haptari, mendekat ke wajahnya. "Kita berdoa dan berusaha saja, Mbak. Aku yakin kok, suatu hari orang tuaku akan benar-benar menerima pernikahan kita," bisiknya, sebelum bibir itu saling bertautan.
****
"Aku pikir punya ayah baru bakal bikin hidup kita enak, tapi nyatanya kita balik lagi tinggal di kontrakan, huh," gerutu Aini seraya memasukkan baju-bajunya di lemari kecil yang yang menempel di tembok di kamar itu.
Kamar yang nantinya akan ditepati oleh ia dan Ziro. Meski begitu abangnya sudah berencana kembali tidur di kasur lantai saja. Biar Aini yang menepati ranjang atas. Walau beberapa bulan sebelumnya Ziro sempat merasakan tidur di ranjang luas nan empuk, tetapi kembali seperti kebiasaan lama tidak membuatnya keberatan. Ia yakin daya tahan tubuhnya masih sama seperti dahulu kala, dimana angin nakal tidak akan berani mengusiknya.
"Setidaknya kontrakan ini lebih bagus dan luas dari kontarakan kita sebelumnya. Abang yakin kalau hujan atapnya juga enggak akan bocor. Tempatnya juga bersih, enggak ada tikus yang kemungkinan gigit kamu malam-malam."
Aini berdecak. "Tapi, judulnya ngontrak lagi ngontrak lagi. Nanti juga akhirnya Aini berangkat sekolah naik angkot lagi angkot lagi. Apa kata temen Aini kalo mereka tahu kita udah miskin lagi."
"Memang kita pernah kaya?"
"Ya, kemaren-kemaren."
"Kemaren kapan? Yang kaya itu kan orang tuanya papa Ridho, bukan kita. Kamu itu kebayakan ngeluh. Sekali-kali hidup kudu disyukuri." Ziro mengambil sebagian baju Aini di koper, membantunya menyusun di lemari, agar ia bisa segera menyusun bajunya sendiri di tempat yang barangkali masih tersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI
RomanceTentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras dan ia harus bekerja lebih keras untuk bertahan. Semua demi kedua anaknya. Bagi Moziro atau akrab dis...