32. Keputusan

978 98 12
                                    

Keluar dari kamar mandi, Ridho membantu istri yang masih kerap dipanggilnya mbak itu menuju ranjang. Raut panik tergambar di wajahnya.

"Sakit banget ya, Mbak?"

"Auhh," Haptari mengangguk sembari memposisikan diri tiduran. Entah ada atau tidak hubungannya dengan flek di celana dalamnya, tetapi kini ia merasakan sakit yang amat sangat di perutnya.

Jika ini tanda awal dari masa bulanan, tetapi seingatnya ia tidak pernah merasa sakit saat akan menstruasi. Dan setelah ia ingat-ingat sudah sebulan lebih ia telat mens, atau-- Haptari membekap mulut. Mungkinkah secepat ini, ia kira akan susah, mengingat umurnya.

Dan sekarang? Haptari membekap mulut, apa ini ada hubungannya dengan insiden kecil saat ia jatuh dari kuda di puncak waktu itu?

"Shhh, astagfirullah."

"Mbak, aku anterin ke rumah sakit, ya?"

"Tapi kan Mas harus ker--

"Kerjaan bisa ditinggal, Mbak. Kesehatan gak boleh diabaikan. Dan kuperhatikan kayaknya Mbak Tari nggak baik-baik aja perutnya."

Haptari mengangguk samar. Ada ketakutan dari dirinya, jika dugaanya benar, kondisi ini benar-benar tidak baik untuk segumpal darah di sana.

Ia mencoba bangkit, tetapi kesusahan. Ridho membungkuk, lalu mengangkat tubuhnya.

"Mas,"

"Gak apa-apa, Mbak. Biar cepet."

****

Air mata meleleh di pipinya. Dugaanya benar, kini ia sudah mengandung tiga minggu. Dokter mengatakan ada sedikit memar yang menyebakan flek dan sakit. Namun, meski kandungannya terbilang lemah, untungnya janin itu masih mampu bertahan di perutnya.

Kembali bulir-bulir bening itu menjatuhi pipinya. Ia teringat hari itu saat mengantar Kanin ke rumah sakit ini juga. Namun, bedanya kandungan perempuan itu tidak berhasil diselamatkan. Masih tergambar jelas, betapa hancurnya suami Kanin yang kala itu tidak bisa menahan tangisnya di depan ruang ICU.

"Terimakasih, ya Allah, Engkau masih memberi hamba kesempatan," lirihnya sembari mengusap wajah dengan sebelah tangan, karena tangan kanannya terpasang infus. Ya, dokter menyarankan ia untuk opname, terkait dengan kondisinya yang lemah, dan ia juga membutuhkan perawatan khusus untuk mengurangi rasa sakitnya. Haptari menurut, ia tidak ingin terjadi apa-apa pada janinnya.

Ridho mengusap pipi Haptari. Ia tersenyum paksa. "Jangan nangis, kalau kamu semakin stress nggak baik juga buat calon anak kita."

"Maaf .... "

Haptari menggenggam tangan Ridho, lalu mengecupnya sembari mengangguk pelan. Hati Ridho terasa berdesir. Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa senang, sedih, dan takut becampur jadi satu. Tidak ingin terlihat lemah ia mengeratkan gigi, berusaha menahan matanya yang memerah. Ia akan jadi ayah, ya Allah izinkan hari itu benar-benar ia rasakan.

"Bentar ya, Mbak." Ridho melepas tangan Haptari, lalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajah, dan ... menuntaskan bening yang mendesak keluar.

****

Ziro tampak panik setelah menutup telepon. Ia setengah berlari menghampiri Egi.

"Elah, belum juga sejam udah mau pulang," keluh Egi setelah Ziro berpamitan pulang. "Udah seminggu lebih nih kita nggak ketemu, lo gak betah amat di rumah gue. Bentaran lagi ngapa, si Bian tadi 'kan janji mau nyusul."

"Ibu gue rumah sakit, Gi. Gue mau langsung ke sana mastiin keadaanya," jawab Ziro tak sabaran.

Ia baru akan bergegas pergi ketika Egi menahan. "Sori, gue nggak tau. Yaudah ayok gue anterin daripada elo kebingungan nyari angkutan."

HARMONITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang