Mungkin benar, benci bisa jadi cinta.
~~~~~
Tokkkkk.....tokkkkkk.....toookkkkkk...
Tangan kecil itu mulai mengetuk pintu kayu kokoh di depannya, namun tidak ada jawaban dari dalam sana. Silvia kembali mengetuknya, namun hasilnya tetap sama.
Tiba-tiba muncul hasrat kecil untuk membuka pintu itu yang ternyata tidak terkunci. Mengizinkan Silvia dengan leluasanya memasuki ruangan bernuansa modern, dipadukan dengan warna klasik yang khas. Ruangan itu sangat luas dan megah, temboknya tinggi dan dekorasinya persis seperti ruangan seorang raja difilm-film Barbie, lucu, namun menganggumkan. Banyak pilar-pilar besar berdiri di sana.
Silvia melemparkan pandangannya ke sudut-sudut ruangan, mencari-cari Sesuatu yang sejak awal menjadi tujuannya. Ruangan itu tampak lengang dan tak berpenghuni, Silvia mengernyitkan dahinya dan mencoba melangkah masuk lebih dalam.
"Di rumah ini, sopan santun yang di utamakan." suara maskulin itu mengintrupsi Silvia, membuat gadis itu terkejut.
Silvia menoleh ke belakang, di sana hanya berjarak 5 meter seorang laki-laki bertubuh tinggi, dengan balutan baju kasualnya sedang berdiri tegak sembari mengusap rambutnya yang sedikit basah dengan sebuah handuk kecil berwarna putih bersih.
Meski lama tidak bertemu, ekpresia pria itu tidak juga berubah. Tetap menatapnya dengan tatapan sedingi es.
"Aku rasa, aku tidak perlu menggajarkanmu tentang sopan santun."
Dia melempar handuknya ke sembarang tempat, tidak perduli di mana handuk itu mendarat. Nathan berjalan dengan langkah penuh karismatik menuju kursi hitam miliknya.
Silvia masih setia di tempatnya.
Nathan menyilangkan kaki kanannya, "kejadian itu, tidak membuat pita suaramu rusak kan?"
"Aku minta maaf." ujar Silvia kemudian dengan suara rendah yang hampir tidak terdengar.
"Apa? Aku tidak bisa mendengarmu."
Sebenarnya Nathan mendengarnya dengan jelas, hanya saja dia ingin bermain-main dengan Silvia."Aku bilang, aku minta maaf." ucapnya lagi dengan suara lebih tinggi.
Nathan terkekeh, tatapannya sulit diartikan. Apakah dia marah atau malah sebaliknya, yang jelas Silvia hanya bisa melihat bayangan gelap di mata suaminya. Bahkan sampai hari ini dia masih berpikir, apakah dia pantas menyebut Nathan sebagai suaminya, walaupun mereka sudah resmi menikah?
"Kamu tau Silvia, hal yang paling aku benci di dunia ini adalah di bantah. Kamu lihatkan apa yang terjadi ketika kamu tidak mendengarkan ucapanku?" sorot mata Nathan menajam
Suasan didalam ruangan besar itu benar-benar mengintimidasi Silvia ditambah lagi dengan tatapan tajam Nathan yang menebarkan aura iblisnya, aura jahat yang selama beberapa hari kemarin tidak muncul dari wajah tampannya. Ya, setidaknya Silvia mengakui kalau dia tampan.
Silvia hanya bisa menunduk. Jantungnya berdetak dua kali lebih keras dari biasanya, jemari-jemarinya bergetar dan wajahnya mulai memperlihatkan ketakutan yang terpendam. Baru kali ini Silvia merasakan ketakutan seperti itu selama hidupnya. Tapi, ia akui kali ini dia benar-benar salah.
Dengan langkah perlahan, Nathan mendekati Silvia tanpa melepas pandangannya ke arah gadis itu. Gadis kecil yang sekarang menyandang status sebagai istrinya, yang beberapa hari lalu menimbulkan masalah dan menyebabkan kerugian besar di perusahaannya.
"Jelaskan alasanmu datang kemari." Perintah Nathan dengan nada dingin.
Silvia masih membisu, bukankah sudah jelas kedatangannya kesini untuk meminta maaf atas perbuatannya.
"Baiklah. Silakan keluar dari sini! Pintu keluar, aku tidak perlu menunjukannya kan?"
Nathan berbalik dan melangkah menjauh, namun Silvia mencekal pergelangan tangannya membuat Nathan menoleh.
"Aku akan bertanggung jawab atas apa yang sudah aku perbuat. Aku benar-benar minta maaf, tapi sungguh aku tidak berniat untuk melakukan itu semua. Aku hanya ingin berenang karena aku sangat menyukai kolam itu." jelasnya tanpa ada yang di tutup-tutupi.
"Bagaimana caranya?" tanya Nathan dengan tatapan menantang
Caranya? Shit! Silvia terdiam. Kenapa dia tidak kepikiran sebelumnya.
"Tidak tau kan?" Nathan terkekeh. "Lebih baik kamu masuk ke kamar dan ikuti semua aturanku karena hanya itu yang bisa kamu lakukan."
Pria berhati batu itu melepaskan tangannya dari genggaman Silvia dengan hentakan keras. Lalu, kembali ke tempat duduknya
"Tunggu apa lagi? Keluar!"
~~~~
Ucapan pedas Nathan entah kenapa membuat dada Silvia tiba-tiba nyeri, membuatnya sulit bernafas seperti biasanya. Buliran-buliran bening itu kemudian jatuh dari sudut mata birunya, dengan mulus melintasi pipi putihnya. Kenapa Silvia harus menangis? Gadis itu sendiri tidak tau. Yang jelas, rasa sakit itu kini menjalar ke hatinya, menciptakan luka yang tak beralasan.
Silvia duduk di sebuah balkon, mungkin tempat itu adalah tempat terbaik bagi Silvia untuk saat ini. Dia butuh merenungkan semua kesalahan yang telah ia lakukan dan berharap bisa menemukan cara untuk memperbaiki semunya, meskipun dia sendiri tidak begitu yakin.
Pikiran Silvia kembali menerawang ke masa remajanya dulu saat dia duduk di bangku SMA. Di mana dia juga melakukan kesalahn fatal yang sama seperti saat ini, membuat orang lain menderita karena kecerobohannya. Dulu Ayahnya yang hampir saja celakan karena dia menjatuhkan minyak goreng di dapur, ibunya yang harus membayar ganti rugi kerena ulahnya yang tidak sengaja merusak kaca rumah tetangganya. Semua kejadian itu membuat Silvia berpikir kalau dirinya selalu menjadi sumber masalah, selalu membuat orang lain menderita dan kesulitan.
Apa memang benar dia pembawa sial?
Ucapan Nathan beberapa hari yang lalu tiba-tiba melintas di benaknya, membuatnya kembali berpikir.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" lagi-lagi suara maskulin itu menghiasi telinganya. Menyadarkan Silvia dari lamunanya.
Spontan Silvia menoleh ke arah sumber suara, tepat di sebelah wajahnya Nathan berdiri dan menatapnya, membuat dua pasang mata itu saling bertautan.
"Ayo! Kamu harus minum obat." Ucapnya kemudian tak acuh
Slvia berdiri, memandang bingung pada laki-laki itu. Perempuan berambut panjang itu, sama sekali tidak mengerti dengan sifat Nathan. Beberapa menit yang lalu, laki-laki itu memandangnya seolah dia adalah sampah dipinggir jalan. Tapi sekarang, dia begitu perhatian seolah dia sangat menghawatirkan istrinya.
"Aku bisa melakukannya sendiri."
Nathan kembali menatapnya,"jangan membantah. Aku sudah mengatakannya, kan?"
Silvia mendengus. Sebelum akhirnya berjalan mengikuti langkah suaminya yang lebih dulu meninggalkannya.
"Cepat minum. Aku tidak mau ada orang sakit di rumah ku."
Silvia meraih pill obat dari tangan Nathan dan menelannya secepat mungkin.
"Terimakasih." ucap Silvia setengah hati.
"Jangan pernah menangis di hadapanku. Itu adalah aturan utama yang tidak boleh di langgar."
Silvia mengerutkan dahinya, "aku tidak menangis."
"Kamu pikir aku buta?"
"Setidaknya aku tidak menangis di hadapan mu. Kamu saja yang tiba-tiba datang."
Baru kali ini Nathan bertemu dengan gadis yang suka sekali membantah ucapannya. Sesekali pria itu ingin sekali mencekik perempuan itu, seandainya tidak ada hukum di dunia ini.
■■■Tbc■■■
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Heartstrings [SUDAH TERBIT)
Romance"Cinta itu bukan hanya sekedar ucapan Nath, aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersatu, kita pasti akan bertemu lagi." Kesedihan yang kau rasakan adalah bentuk dari cinta yang tak terlupakan Jika ka...