Chapter ~ 8 | Akankah kamu memaafkanku?

413 46 5
                                    


Kita hanya sepasang daun yang tak diinginkan tapi, mengapa takdir menerbangkan kita ke arah yang sama?


~~~~

Seperti petir yang menyambar, secapat itu berita tentang Silvia terpajang rapi dimajalah-majalah, tabloid, hingga acara-acara gosip di Tv nasional. Semua staff Nathan kewalahan menangani perambatan informasi yang sangat cepat itu, dalam hitungan beberapa jam saja rumah sakit sudah dipenuhi ratusan wartawan dari berbagai stasiun televisi.

Para bodyguard Nathan berbaris membentuk pagar disepanjang pintu masuk rumah sakit untuk menghadang para pemburu berita itu agar tidak masuk ke dalam rumah sakit. Hal yang sama juga terjadi di rumah Nathan, polisi berdatangan untuk mengamankan kedua tempat itu dari buasnya para wartawan.

Sementara Nathan lebih memilih untuk stay di ruang rawat Silvia, daripada mendengar kebisingan yang terjadi di luar sana. Hal ini lah yang paling di benci oleh laki-laki bertubuh tinggi itu, berhadapan dengan para wartawan yang gemar melebih-lebihkan ceritanya, berdiri di depan kamera untuk memberikan klarifikasi yang menurutnya tidak terlalu penting.

Nathan tidak pernah suka, seluruh hidupnya di jadikan bahan pembicaraan di media. Bahkan hal terkecil yang menurutnya tidak terlalu penting, bisa masuk ke dalam pemberitaan dan menghambat semua waktu dan pekerjaannya.

Nathan duduk di sebuah sofa panjang di ruangan itu sembari memijat pelipisnya yang rasanya akan meledak karena kelebihan kapasitas. Masalah yang di timbulkan Silvia membuat otaknya bekerja lebih cepat dari yang seharusnya.

"Permisi Tuan.." Albert mengetuk pintu yang di balas dengan lambaian tangan oleh Nathan, tanda bahwa Albert boleh masuk

"Maaf Tuan, semua keamanan di rumah sudah dapat kami atasi, namun wartawan di rumah sakit masih kami coba atasi karena semakin lama mereka semakin banyak berdatangan. Tapi, Tuan tenang saja kami akan membereskannya dalam waktu setengah jam." jelasnya tegas.

Nathan hanya mengangguk. Saat ini dia tidak punya cukup tenaga untuk meluapkan kemarahannya ataupun bicara panjang lebar pada anak buahnya. Lagipula, kemampuan fisik maupun kecerdasan semua anak buahnya tidak perlu diragukan lagi. Nathan adalah orang yang sangat teliti dalam memilih orang-orangnya. 

Tak lama setelah Albert meninggalkan ruangan, Robert dan sekretaris pribadi Nathan masuk menemui Nathan untuk melakukan hal yang serupa.

Nathan mendesah berat. Jujur, dia malas mendengar laporan-laporan tentang wartawan-wartawan itu beserta media-media yang mencari keuntungan di atas penderitaannya.

"Beberapa media pemberitaan di internet sudah berhasil kami hentikan, dan kami juga sudah melarang Tv Nasional agar tidak memuat berita tentang kejadian yang dialami Nyonya Silvia." Lapor Robert dengan lugas

"Kabar buruk, delapan puluh persen patner perusahaan kita menarik sahamnya karena mereka menganggap Tuan Nathan tidak kompeten dan tidak professional dalam menjalankan bisnis. Mereka bilang, mereka tidak bisa bekerja sama dengan orang yang tidak professional. Hal ini terjadi karena Tuan membatalkan pertemuan dengan pangeran William." lanjut Alexa, gadis berparas cantik yang sudah 5 tahun ini menjadi sekretaris pribadi Nathan

Itu adalah berita terburuk yang di dengar Nathan hari ini. Perusahaannya benar-benar kacau hanya karena satu orang saja.

"Berapa kerugiannya?" Nathan memperbaiki posisi duduknya lebih nyaman, menghadap ke arah Alexa dan Robert

Alexa menghela nafas berat melihat deretan angka yang harus dia baca," sepuluh TRILIUN." Jawabannya singkat namun menusuk dihati Nathan

Kalimat itu langsung membuat Nathan  sulit bernafas, dia melonggarkan dasinya, membuka satu kancing teratas kemejanya untuk memberikan akses udara masuk lebih banyak. Ia kemudian meraih botol mineral di depannya, menghabiskannya hanya dalam satu tegukan.

Robert dan Alexa kemudian undur diri dari hadapan Nathan setelah memastikan tidak ada hal lagi yang harus mereka bicarakan, menyisakan Nathan dengan kerisauan yang teramat dalam dihatinya. Saat ini yang dibutuhkan Nathan hanyalah kesendirian dan ketenangan untuk berpikir langkah apa yang akan diambilnya untuk menyelamatkan perusahaannya.

Waktu terus berjalan, perlahan-lahan matahari kembali keperpaduan. Menyisakan langit dengan kegelapan tanpan bulan dan bling-bling cahaya bintang. Udara semakin lama, menjadi semakin dingin hingga menusuk tulang. Sejak pagi hingga malam menjelang, Nathan tidak beranjak sedikitpun dari ruang rawat Silvia. Dia sibuk dengan laptopnya dan beberapa berkas yang harus ia kerjakan.

Nathan bahkan lupa kalau sejak tadi perutnya kosong, berteriak minta diisi, namun pria itu tidak menghiraukannya. Hanya air putih yang sejak tadi mengisi perutnya, entah itu cukup atau tidak, Nathan sama sekali tidak ingin tau.

Penampilan Nathan malam itu, sangat berantakan, bajunya lusuh, rambutnya sudah tidak berbentuk lagi, wajah tampannya dihiasi oleh rona kelelahan dan kekhawatiran. Sesekali dia menoleh kearah Silvia, namun yang dia dapatkan tetap sama, gadis itu masih setia menutup matanya walaupun waktu sudah berlalu lama.

Untuk kesekian kalinya Nathan mengehela nafas berat.

Ia bangkit dari duduknya, berjalan mendekat ke arah ranjang Silvia, duduk di pinggir ranjang sembari manatap wajah pulas Silvia. Entah dorongan dari mana, membuat Nathan mengulurkan tangannya dan membelai rambut sebelah kiri Silvia dengan tangan kirinya. Begitu halus, lembut dan penuh kasih sayang, mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian pilu yang sempat menenggelamkannya dalam lubang hitam, dan Nathan tidak ingin hal itu terulang kembali. Cukup satu kali dia merasakannya.

"Silvia...." Panggilnya halus, "sekarang sudah waktunya bangun. Jangan membuat aku khawatir, setidaknya lepaskan satu beban pikiranku dari kepalaku." mintanya dengan tulus

Hening.

"Seharusnya, kamu mendengarkan perintahku, jangan keras kepala seperti ini." lanjut Nathan

Hening.

"Cepatlah sembuh, Silvia." Itu adalah kalimat penutup sebelum Nathan akhirnya meninggalkan ruangan.

~~~~

Hari-hari berikutnya kondisi Silvia sudah mulai membaik, tubuhnya mulai pulih seperti sedia kala. Sementara Nathan menjadi sangat sibuk di kantor dan jarang pulang ke rumah. Sejak malam itu juga, Nathan tidak pernah menemui Silvia lagi, bahkan hingga Silvia kembali ke rumah, dia tidak menemukan sosok Nathan disana.

"Maafkan aku.." bisiknya ketika tanpa sengaja Silvia membaca pemberitaan tentang dirinya di internet. 

Silvia sadar apa yang sudah dia lakukan memberikan dampak yang amat besar pada kelangsungan hidup banyak orang. Dan sekarang karena ulahnya, perusahaan Nathan terancam gulung tikar.

"Shopia dimana?" tanya Silvia kepada Albert karena seharian ini dia tidak melihat wanita itu di rumah ini.

"Ibu Shopia sudah dipecat semenjak kejadian itu." jawab Albert sendu

Seketika itu, raut wajah Silvia berubah murung, "gara-gara aku semua orang menderita."

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Nyonya." Albert berusaha menghibur, namun tampaknya tidak begitu berhasil

"Nathan?" Silvia mendongak, menatap Albert meminta jawaban dari laki-laki itu.

"Sudah beberapa hari ini, Tuan tidak pulang ke rumah. Saya yakin dia pasti sedang kesusahan menangani masalah ini."

Silvia hanya mengangguk pelan. Dia benar-benar merasa tidak enak dengan Nathan dan juga orang-orang yang telah di rugikan.

"Apa Nathan akan memaafkan ku?" tanyanya sembari menunduk, merasa bersalah.

"Pasti Nyonya. Asalkan Nyonya meminta maaf dengan tulus, Tuan Nathan pasti akan memaafkan Nyonya." 

Silvia tersenyum samar, "terimakasih Albert." 

Albert mengangguk sembari tersenyum dan melenggang pergi, menyisakan Silvia bergelut dengan pikirannya.


■■■Tbc■■■

You're My Heartstrings [SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang