Acara selesai, tidak ada lagi kejadian yang bikin hati berdebar-debar setelah Annisa tertidur sampai pulang ke rumah.
Pak Yanto menyalami pak Sahid sembari berujar pelan, "Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi Hid, hanya saja aku bisa tahu kalau kamu terpengaruh ketik cicitku yang bisa 'melihat' itu mulai mengoceh tentang seseorang di lukisan yang berada di rumahnya sepupu kamu itu. Aku sih tidak ada masalah dengan sepupu kamu, tapi jika menyangkut cucuku, Amran, aku akan menunggu kamu untuk menjelaskan atau nanti aku cari tahu sendiri."
Pak Sahid tersentak ketika ucapan pak Yanto itu di tuturkan secara lembut tapi mengancam.
"Hmm.. aku tidak paham maksud perkataan anda pak Yanto. Tapi, aku tidak akan membuat anda bersusah payah untuk mencari tahu karena tidak terjadi apa-apa pada Amran.. " balas pak Sahid dengan suara di tenangkan.
Pak Yanto membuat tanda dengan kedua jarinya yang berarti 'I watch you' alias aku mengamati kamu. Kakeknya Syarif ini tersenyum lebar ketika melihat pak Sahid tersenyum kecut. Semua keluarga Amran sudah masuk ke mobil. Kamelia ada di depan teras menunggu mobil Amran yang akan pulang ke Bogor.
Ketika pak Yanto menepuk-nepuk bahu Kamelia dengan lembut, wanita itu menyalami tangan lelaki tua yang baik tersebut tapi agak nyentrik dalam bersikap. Sikap pak Yanto ini menurun pada sang cucu, yaitu Syarif batin Kamelia geli.
"Hei.. jangan senyum-senyum sendiri. Jaga diri kamu ya nak.. " ujar pak Yanto lalu berlalu dari hadapan Kamelia.
**
Di suatu tempat lumayan jauh dari kota Bogor, seorang lelaki agak penasaran melihat sang ibu yang gelisah setelah pulang dari rumah keluarga mereka. Ia sih tidak bisa ikut lantaran sibuk dengan urusan galeri. Well, ia seorang pelukis, tapi kebanyakan karyanya di pamerkan ke Philiphina karena letak kota Makasar lebih dekat di sana. Kalau di dalam negeri sih lukisannya ada di galeri tertentu. Ia memakai nama lain untuk di letakkan di sudut lukisan. Inisial dirinya adalah Kuas Pelangi (KP).
Mereka lagi ada di ruang makan untuk menyantap makan malam yang sudah terhidangkan.
"Bu.. ada apa?" tanya si pelukis tersebut.
"Hmm.. tidak apa-apa nak.." balas si ibu.
"Tidak apa-apa kok gelisah sih.. apa wajah saya terlihat sangat tampan atau mirip seseorang..?" canda si anak sambil terkekeh. Ayahnya si pelukis tersedak tahu goreng, si ibu langsung mengambilkan air untuk suaminya itu.
"Aduh.. kamu mah bikin ayah keselek nak." gerutu si ibu.
Si pelukis tersenyum masam, ia yang tampan kok ayahnya yang keselek.
"Iya maaf ayah, ibu.. habisnya kalian ini sepertinya gelisah juga waspada setelah pulang dari rumah om Umar.." lanjut si pelukis tampan ini yang sekarang berusia 29 tahun tapi masih single juga. Lelaki ini mungkin kebanyakan melukis objek mati atau pemandagan alam sehingga tidak terlalu perduli dengan wanita sebagai objek hidup.
Kedua orang tuan si pelukis saling pandang saja, mata mereka berkata, 'semoga anak kita tidak mengetahui kalau dirinya mempunyai saudara lain'
"Hmm.. nak..mari kita makan dan bercakap-cakap untuk yang netral saja. Bagaimana dengan lukisan kamu yang akan kamu pamerkan di Jakarta itu?" tanya si ayah dengan semangat berlebihan karena berusaha membelokkan percakapan tentang mereka yang gelisah.
Si pelukis dengan senang hati menjawab perkataan ayahnya mengenai lukisannya dan juga kesibukan lainnya terkait dengan pameran ataupun seni. Kedua orang tua pelukis ini menarik napas panjang lantaran anak mereka sudah teralihkan dari rasa penasaran karena mereka berdua gelisah.
Namun, kedua orang tua itu tidak mengetahui kalau si pelukis ini sangat peka dan cerdas dalam menangkap emosi dari wajah kedua orang tuannya itu. Si pelukis berjanji ketika ia ke Jakarta nanti, ia akan mengunjungi om Umar sekaligus silahturahmi dengan sepupunya. Ia yakin kedua orang tuanya menyembunyikan sesuatu yang mungkin menarik untuk dirinya ketahui. Ia selama ini tahu kalau dirinya adalah anak adopsi di keluarga ini, tapi dengan di adopsi, tidak mengurangi rasa kasih sayang dari kedua orang tua juga keluarganya yang lain. Ia sebenarnya penasaran dari mana ia di adposi, tapi ibunya bilang ia di adposi berkat bantuan om Umar.
Ia sangat beruntung berada di keluarga ini, hatinya kadang menjerit kenapa keluarga aslinya membiarkan dirinya di adopsi, apakah adanya kesalahan? atau keluarganya butuh uang atau dirinya memang tidak di inginkan. Tapi, dirinya tidak ingin menjudge sebelum mendapatkan bukti, ia akan mencari keluarganya.
Dengan mata menajam tapi senyum terkembang, si pelukis terus bercengkrama dengan kedua orang tuanya ini. Ia tahu keduanya sangat menyayangi dirinya, begitu pula dengan dirinya. Tapi, ia perlu tahu juga siapa sebenarnya keluargany ini.
Ia sangat berharap keluarga aslinya senang jika ia sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa yang sukses dalam usaha dan hobbinya ini. Ia ingin keluarganya tahu kalau ia bisa hidup dengan semua rasa rindu terhadap mereka karena tidak pernah bertemu dengan sepupu, om, tante, nenek ataupun kakek dari keluarga aslinya ini.
Tiba-tiba mata si pelukis berkaca-kaca, lelaki ini menunduk untuk menghindari tatapan kedua orang tuanya ini. Ia menarik napas panjang dan kembali tersenyum kepada keduanya.
Sampai selesai makan malam, si pelukis langsung permisi untuk masuk ke kamar tidur dan berjalan ke balkon di kamarnya ini. Ia menantap langit malam yang cantik dengan taburan bintang. Ia mensyukuri nikmat yang di berikan sang Pencipta untuk dirinya ini. Ia menghargai lukisan alam nan elok ini, tidak ada tandingannya batinnya sendu.
Dengan pikiran tenang karena menghirup udara dingin malam, si pelukis masuk dan menutup pintu balkon lalu bersiap-siap untuk tidur. Ketika si pelukis sedang tidur, mimpi menyelimuti lelaki ini. Seorang bocah perempuan yang berteriak memanggilnya 'uncle..uncle..'. Si pelukis tersenyum lalu mengendong si bocah mengemaskan itu di dalam mimpinya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SANG PHOTOGRAPHER {Geng Rempong : 9}
RomanceAmran Surano seorang photographer yang memulai karirnya dari bawah. Terus mengembangkan sayap juga dibantu oleh keluarganya walaupun dirinya ingin mandiri. Sang ibu tiri, berusaha menjodohkannya dengan seorang wanita bernama Ranti. Namun, ia tidak m...