Naomi menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Tubuhnya hanya dibalut kaos hitam polos ketat membentuk lekuk tubuhnya. Senyum diwajahnya tak kering semenjak 10 menit yang lalu karena menatap kalung ajaib pemberian Veranda.
Kalung itu tidak pernah lepas kecuali mandi semenjak dikalungkan Veranda ke lehernya. Setiap hari kalung itu seolah menjadi kebahagiaan baru bagi Naomi, bahkan sampai sekarang Naomi masih bisa merasakan sisa kehangatan Veranda dikalung ini.
"Naomi! Lama banget sih lo ganti baju! Tuh guru udah nungguin dilapangan!" seruan Frieska menyadarkan Naomi dari lamunannya.
Dengan kesal Naomi langsung memakai baju olahraga yang memiliki nama serta lambang sekolah dibagian punggungnya. Naomi keluar dari ruang ganti menemui Frieska yang bersedekap dada layaknya bos besar.
"lo lama banget sih. Udah tau tuh guru ngasih hukuman buat yang telat bikin capek setengah mati!" dumel Frieska hanya dibalas acuh oleh Naomi. Keduanya pun berjalan menyusuri lorong sekolah menuju lapangan.
"oh iya, tadi gue ambil brosur beasiswa salah satu kampus terkemuka di Italia dari kantor guru" Frieska mulai meroggoh kantung celana olahraganya mengeluarkan selembar brosur.
"oh iya? Baguslah kalau begitu" kata Naomi cuek. Naomi hanya menerimannya tanpa membaca isi brosur tersebut.
"liat dulu. Tadi gue nyari info dikit tentang kampusnya dan fyi aja nih Shinta Naomi, kampusnya deket sama stadion Juventus"
Langkah Naomi terhenti. Ia langsung membuka lembar brosur dan membacanya.
"widih iya juga nih. Kuliah disini bisa setiap pekan nonton bola" gumam Naomi yang masih bisa di dengar Frieska.
"lo kuliah atau nonton bola sih. Gak ada benernya nih anak" gerutu Frieska.
"jarak kampus ke stadion hanya 13KM, jadi saya harus bisa mencari tempat tinggal dipertengahannya biar mudah" Naomi mulai membayangkan indah hari-harinya di kota Turin. Akhir pekan duduk diantara ribuan suporter, menyanyikan chant penyemangat pada klub bola kesukaannya, merayakan kemenangan, pergi bersama beberapa teman untuk away ke stadion lawan hingga keluar Italia demi menyaksikan tim kesayangan berlaga di pentas Eropa, atau ikut parade juara akhir musim. Bayangan itu berhasil membuat Naomi tersenyum sendiri.
Dasar manusia halu! Batin Frieska dalam hati.
"emang lo udah kepikiran mau kuliah jurusan apa?"
"untuk jurusan itu nanti saja, kuliah jurusan apapun akan saya lakukan yang penting bisa nonton bola"
Frieska berdecak kesal. Tangannya sudah gatal ingin mencubit Naomi atau memukulnya supaya anak itu sadar. Mungkin Ini saatnya Frieska mengeluarkan jurus pamungkas.
"emang lo dikasih kuliah di luar negeri? Di luar kota aja gue yakin Om Keynal bakal gak kasih ijin" kata Frieska tersenyum tengil.
Seketika Naomi terdiam mencerna omongan Frieska. Bukan ijin Papanya yang menjadi inti pemikirannya, tapi Veranda. Jika ia pergi maka dia takkan pernah melihat wanita itu untuk waktu yang lama. Atau mungkin ketika dia kembali justru dia diberi kejutan kehadiran anak kecil yang memanggilnya dengan panggilan Kakak, Veranda dan Papanya akan diberi panggilan yaitu Papa dan Mama.
Naomi berpacu dalam dilema. Tapi menyaksikan pertandingan bola di Eropa adalah keinginan Naomi sejak ia mengenal sepak bola. Bukan Keynal tak mampu mengajaknya, tapi akan lebih menyenangkan jika setiap akhir pekan bisa menyaksikannya secara langsung daripada menonton di TV. Apalagi sepak bola Italia adalah salah satu dari liga top Eropa yang selalu menarik perhatian dunia, semua orang tentu ingin menonton langsung dan merasakan atmosfer melihat pemain berlabel bintang beraksi dilapangan*authornya juga mau!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Step Mother
FanfictionHidup Naomi awalnya baik-baik saja namun semua berubah ketika sang Papa mengenalkan calon Mama barunya. Banyak pertentangan yang dialami diumurnya yang ke17 dan dari semua pertentangan dialaminya, ada satu hal yang membuatnya merasa menjadi manusia...