Part 9

343 29 3
                                    


9. Ingatan.

Di ruangan dokter.

"Gimana keadaan anak saya dok?" Tanya bunda.

"Keadaannya tidak terlalu parah. Syukur adik ini membawanya ke rumah sakit dengan cepat." Jawab doker.

Helaan nafas terdengar.

Kelegaan yang Ari dan keluarganya rasakan.

Syukurlah Salsha tidak papa.

"Tapi--

Sambung dokter.

"Aku benci dengan kata itu." Ucap Ari tak suka.

"Tapi keadaannya sedang kritis. Apakah dulu pernah ada kecelakaan pada bagian kepalanya?" Tanya dokter meminta jawaban.

"Iya. Pernah. Dulu sewaktu kecil, saat umur mereka 3 tahun. Memang apa yang terjadi padanya?" Jawab bunda dan diakhir kalimatnya ia bertanya.

"Saya belum bisa menyimpulkan, ini luka parah tau bagaimana? Kita harus menunggu dia siuman dahulu." Jawab dokter.

"Dok." Ucap ayah.

"Iya." Jawab dokter

"Dulu dia sempat amnesia, apakah luka dikepalanya semakin menyakitinya?" Tanya ayah.

"Kalau itu saya belum bisa menjawab. Luka di kepala itu sangat sensitif. Bisa menyembuhkan amnesianya dan bisa membuatnya semakin sakit. Dan saya akan memeriksanya lagi nanti. Dan hasil pemeriksaannya akan keluar besok." Jawab dokter.

"Terimakasih dokter." Ucap bunda.

"Sama sama." Jawab dokter dengan senyum ramah.

Bunda ayah dan Ari keluar dari ruangan dokter.

Ruang Rawat Salsha.

Melihat Salsha terbaring lemas dengan wajah yang sangat pucat. Membuat semua merasa kasian.

Tak bisa ia pungkiri jika rasa sakit dan sesak di dada juga terasa sampai Ari. Ia sempat memegangnya. Ari meyakini keadaan Salsha sangatlah sakit. Ia akan berbagi jika rasa sakit yang ia rasa sangatlah besar.

Ari berjalan mendekat dan duduk di kursi yang terlah di sediakan di dekatnya.

Ari memegang tangan Salsha dan menciumnya.

"Aku merindukanmu." Ucap Ari lirih.

Sedangkan ayah dan bundanya.

Cuma bisa menangis dengan apa yang Ari rasakan.

Mereka merasa telah salah menjauhkan anak mereka.

Ayah mendekat ke arah Ari. Mengelus pundak pundak anaknya. Perilaku itu membuat Ari menengok.

"Maafin ayah sama bunda ya. Kami merasa bersalah telah menjauhkan kalian. Kami gak tau kalau akhirnya bakal seperti ini." Sesal ayah.

"Ari gak papa yah. Ari dulu ke Singapura juga karna pengobatan, dan sekarang Ari sudah sembuh. Jadi baru bisa liat Salsha." Jawab Ari dengan senyum tipisnya. Tatapannya sendu menandakan dirinya benar benar kesakitan.

"Kami keluar dulu ya. Mau ngurus administrasinya." Ucap bunda.

Dan di balas anggukan saja oleh Ari.

Ruangan begitu hening setelah ayah dan bunda keluar dari ruangan salsha.

Ari hanya bisa melihat wajah adiknya ini. Dia tak bisa memalingkan wajahnya dari wajah polos Salsha.

Masih hening.

Dan suara ponsel yang memecahkan keheningan diruangan itu.

Ponsel Salsha.

Bukan Kesalahan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang